Beberapa kendaraan terpaksa mengalah, menepi sejenak ketika mobil ambulans itu melintas dengan suara sirine meraung-raung.
Seorang laki-laki duduk terpekur di jok belakang. Matanya sayu menatap sesosok tubuh yang terbujur kaku di hadapannya.
Aliz.
Iya. Tubuh yang tertutup kain putih itu memang Aliz.
Laki-laki itu mengusap sudut matanya yang tiba-tiba saja menggenang. Ada rasa penyesalan yang tidak bisa ia ungkapkan lewat kata-kata. Ia hanya bisa membatin sembari tangannya sesekali mengusap lembut tubuh yang sudah mendingin itu.
Ah, kalau saja pagi tadi ia punya waktu untuk menemani Aliz pergi. Tentu kejadian naas itu tidak akan pernah terjadi.
Kembali laki-laki itu menundukkan wajah. Kali ini ia tidak bisa lagi mencegah buliran bening itu meluncur. Ia menangis, sesenggukan. Hingga tubuhnya yang jangkung terguncang hebat
Mobil berhenti di sebuah tempat. Bang Jack---sang sopir gegas melompat turun lalu berjalan memutar untuk membantu membuka pintu mobil bagian belakang.Â
Sembari melongokkan wajah lelaki berwajah sangar tapi berhati lembut itu berkata, "Mas, kita sudah sampai."
"Tinggalkan kami berdua di sini," Daeng Arman menyahut tanpa menoleh.Â
"Tapi, Mas," Bang Jack ingin mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba saja Daeng Arman merampas kunci ambulans yang berada di tangannya.