Kukira, sampai kapan pun aku tidak akan pernah melupakan pemilik wajah rupawan yang sengaja membiarkan rambut panjangnya tergerai dihempas angin. Juga senyumnya yang begitu tenang. Setenang permukaan air danau yang menghampar luas di balik Lembah Senduro, di mana senja kerap kali memutuskan untuk bersembunyi.
Ranu. Kuingat awal pertemuan kita. Kau berlari-lari kecil menyongsong kedatanganku. Lalu berjalan riang mendampingiku. Berusaha menjadi pemandu yang baik bagi perempuan yang sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di tanah pegunungan.
Ranu. Aku masih belum lupa. Bagaimana derap langkahmu yang lincah membuatku tertinggal jauh di belakang. Bukan karena aku lamban. Tapi bau wewangian pohon yang tumbuh di sepanjang tepi danau berhasil mengusikku. Membuatku berkali-kali berhenti hanya untuk menaikkan cuping hidung.
Kalau bukan karena nyanyian anak-anak kumbang yang tiba-tiba saja membising, barangkali kakimu terus saja melangkah. Bisa jadi kau tidak akan menoleh dan tersadar bahwa ada seorang perempuan yang berjalan tertatih-tatih di belakangmu.
Aku senang ketika melihatmu berhenti lalu berdiri di bawah sebatang pohon untuk menungguku.
"Kau sengaja memanjangkan rambutmu supaya angin bisa lebih lama mempermainkannya," ujarku di sela napas yang memburu.
"Kau salah. Aku membiarkan rambutku tumbuh seperti ini hanya demi menarik perhatianmu," sahutmu sembari menyungging senyum. Senyum yang mengisyaratkan bahwa hati kita mulai merasakan getaran yang sama.
Ah, tidak, Ranu. Aku tidak ingin membiarkan imajinasiku meliar lebih jauh. Sebab aku paham, dunia yang kita jalani sungguh sangat jauh berbeda.
Kau anak alam. Terbiasa hidup bebas di alam terbuka. Hutan adalah rumahmu. Pepohonan adalah sahabat yang harus senantiasa kau jaga perasaannya. Dan danau yang membentang luas dengan ketenangannya yang mengagumkan adalah kekasih yang tak akan pernah tergantikan oleh siapa pun.
Tidak juga oleh diriku.
"Aku ingin mengajakmu pulang!" seruku tiba-tiba.
"Sebaliknya, aku ingin mengajakmu tinggal di sini. Di tepi danau ini," kau menatap ujung sepatuku yang berdebu.
"Di sini udara terlalu dingin untukku," aku menggigil dengan bibir membiru.
"Aku bisa menghangatimu," ujarmu bersungguh-sungguh. "Oh, iya. Salju akan turun pada tengah malam di atas permukaan air danau. Indah sekali. Seperti butiran bintang yang mengambang. Kau belum pernah menyaksikannya, bukan?"
***
Ranu. Kuberi tahu. Anak gadisku kini sudah tumbuh remaja. Pagi ini ia bangun lebih awal dari biasanya. Ia sedang berdiri di depan cermin menguncir rambut panjangnya dengan cekatan. Kemudian menutup kepalanya dengan kerpus rajut yang tebal. Wajahnya yang merah kecoklatan---mengingatkanku pada wajahmu, hanya dipupuri dengan bedak sedikit.
Sejak semalam ia sudah sibuk mempersiapkan semuanya. Sebuah ransel gunung berukuran besar (entah berisi apa aku kurang paham), siap membebani pundaknya yang menurutku terlalu ringkih bagi seseorang yang disebut pendaki.
Ranu. Kau pasti tersenyum jika kukatakan ini. Ia gadis yang pemberani sekaligus keras kepala. Tidak sepertiku.
Regulo. Aku memberi nama unik itu untuknya.
Regulo adalah sebutan lain untuk bunga mawar. Mawar yang pernah kau genggamkan pada jemari tanganku yang membeku, kala itu, sebelum aku pamit pulang.
"Ini regulo yang kutanam di sekitaran danau ini," ujarmu seraya melepas senyum paling hangat.
"Kenapa kau tidak memberiku bunga Edelweis saja?" aku memprotes pelan.
"Tidak akan! Edelweis yang tumbuh di sekitar pegunungan tidak boleh dipetik sembarangan. Biarkan ia hidup dan mati di atas tanah yang ia cintai." Tanganmu semakin erat menggenggam jemariku.
"Kau tidak saja romantic, tapi juga humanis," aku memujimu. Wajahmu yang coklat kemerahan tersipu. Seperti wajah mentari yang diam-diam sudah menyelinap di balik punggung lembah.
Ranu. Kembali ke anak gadisku. Ia sudah selesai mengikat tali sepatunya. Sebuah kendaraan besar sudah siap pula menjemputnya. Iapun bergegas mencium tanganku dan berseru lantang, "Ma, Rere berangkat!"
***
Ranu. Langit senja baru saja memuntahkan hujan ketika anak gadisku pulang dari pendakian. Aku sudah menyiapkannya air hangat untuk mandi. Juga semangkuk bubur ayam panas kesukaannya.
Usai mandi ia belum sudi bercerita apa-apa. Tidak pula menyentuh bubur ayam yang sejak tadi tersaji di atas meja.
Tidak biasanya ia berperilaku demikian.
"Apakah kau baik-baik saja?" aku menyentuh pundaknya yang ringkih.
"Mama pasti tidak akan percaya jika kukatakan ini," ia mulai membuka suara.
"Apakah aku pernah melakukan---maksudku, apakah selama ini aku pernah tidak mempercayaimu?" aku bertanya hati-hati. Ia menggeleng.
"Jadi mengapa mesti meragukanku? Berceritalah," aku menggeser dudukku.
Dan dengarlah ia, Ranu. Anak gadisku mulai bercerita tentang sesuatu yang membuatku diam seribu bahasa.
***
Malam itu rombongan kami beristirahat di sekitar Danau Lembah Senduro, danau yang berada pada ketinggian 2100 meter dari permukaan air laut. Sebelum esok hari harus melanjutkan pendakian menuju ke puncak Gunung Semeru.
Entah mengapa, suhu udara di sekitar danau mendadak berubah ekstrim. Dari angka 10 turun drastis menjadi minus 4 derajat celcius. Membuat tubuh kami nyaris membeku. Jaket dan topi tebal sama sekali tidak mampu membantu. Beberapa teman bahkan mengalami hipotermia dan terpaksa dilarikan ke posko terdekat untuk mendapatkan perawatan medis.
Terbatasnya jumlah relawan tentu saja membuat kami---yang berjumlah puluhan orang, harus sabar menunggu giliran dievakuasi. Melihat aku masih bisa bergerak lincah dan mendesis-desis, mereka memutuskan menolongku di urutan paling akhir.
Satu persatu teman-temanku dipapah naik ke atas tempat di mana posko terdekat bisa dijangkau. Sementara aku meringkuk di dekat api unggun yang nyalanya sudah mulai meredup.
Udara dingin kian menggigit. Tangan dan kakiku sudah sulit digerakkan. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali memeluk sebotol air panas yang ditinggalkan oleh salah seorang relawan untuk menghangatkan perut yang mulai mengejang.
Tapi keadaan itu tidak bertahan lama. Air di dalam botol perlahan-lahan mulai mendingin. Sementara pertolongan yang kutunggu tidak juga kunjung datang.
Sampai kemudian, entah darimana datangnya, seorang laki-laki berambut gondrong, berwajah coklat kemerahan---aku bisa melihatnya dari pantulan cahaya rembulan, menggamit pundakku. Ia menyodorkan secangkir minuman berbau harum.
"Minumlah. Wedang jahe bercampur batang sereh ini akan menghangatkan perutmu," ia berkata lirih. Aku menyambut gembira. Kupikir ia adalah salah seorang relawan yang ditugaskan menjemputku.
"Terima kasih," tanganku yang beku terulur gemetar. Tubuhku masih menggigil dan bibirku pun belum bisa berhenti mendesis seperti seekor ular.
Laki-laki itu berjongkok tepat di hadapanku. Berusaha menghidupkan nyala api unggun yang sudah mati.
"Sebentar lagi salju akan turun. Berjatuhan di atas permukaan air danau. Indah sekali. Seperti butiran bintang yang mengambang. Kau belum pernah menyaksikannya, bukan?"
Ranu. Sampai di sini anak gadisku menghentikan sejenak ceritanya. Wajahnya yang coklat kemerahan beralih menatapku.
"Mama tidak ingin mengatakan sesuatu?" ia menggigit bibirnya yang kering. Aku menggeleng.
"Baiklah, aku lanjutkan," ia memejamkan matanya.
Api unggun kembali berkobar. Laki-laki gondrong itu kemudian berdiri. Merogoh sesuatu dari saku jaketnya yang kumal. Mendadak rasa dingin yang membekukan seluruh tubuhku sirna.
"Bunga ini untukmu," laki-laki itu mengulurkan setangkai bunga mawar seraya tersenyum hangat. Sehangat sinar rembulan yang sesekali menyentuh permukaan air danau.
"Kau menerimanya?" aku menyela cerita anak gadisku dengan suara bergetar. Ia menggeleng.
"Tidak, Ma. Belum sempat aku mengulurkan tangan, serombongan relawan datang. Mereka segera membawaku pergi. Dan---laki-laki berwajah coklat kemerahan itu, raib!"
***
Ranu. Ini hari ketiga sejak kepulangan anak gadisku dari pendakian. Ia tidak bercerita apa-apa lagi. Sepertinya ia sudah mulai melupakan kejadian yang dialaminya. Dan tentu saja hal itu membuatku merasa lebih tenang.
Kau benar Ranu. Ia tidak boleh tahu siapa dirimu. Siapa lelaki berwajah coklat kemerahan yang selalu mengatakan bahwa salju akan turun di atas permukaan air danau pada saat tengah malam. Lelaki yang pernah menggenggamkan setangkai mawar pada jemari seorang perempuan yang tersesat di hatinya.
Ranu. Perlahan tanganku meraih sebuah album. Ada fotomu terpampang buram di situ. Berdiri gagah di antara sederetan orang-orang Suku Tengger.
Salah seorang volunteer yang hilang di Danau Lembah Senduro diketahui bernama Ranu Pani.
Berita menyedihkan itu aku kliping dari sebuah surat kabar.
Dua puluh tahun silam.
***
Malang, 13 November 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H