"Aduh, sudah segawat inikah stres yang kualami? Sampai-sampai aku berkhayal bertemu dengan seorang penyihir," Tari menepuk keningnya berkali-kali.
"Kamu tidak sedang berkhayal, Tari. Aku memang seorang penyihir. Ini nyata," aku berusaha meyakinkan dia.
"Ya, ampun! Aku memang benar-benar sudah gila!" Tari mempercepat langkahnya. Meninggalkan aku tanpa menoleh lagi.
***
Aku membuntuti Tari hingga sampai di rumahnya yang teduh. Seorang wanita usia empat puluhan menyambut kedatangannya di ambang pintu.
"Ini dia! Calon perawat Mama yang manis. Makan dulu, ya. Mama sudah menyiapkan ikan segar kesukaanmu," wanita itu tersenyum lebar.
"Wah, calon Polwan Papa yang cantik sudah pulang. Bagaimana sekolahnya hari ini? Setelah makan kita jalan-jalan ke Mall, ya. Kebetulan Papa ambil cuti," seorang laki-laki menerobos keluar dari ruang dalam dan menyongsong kepulangan Tari.
"Biarkan Nona perawatku makan dulu," Mama Tari menyenggol perut buncit suaminya.
"Kalau Tari mau, kita bisa makan di luar," laki-laki itu menarik mundur tubuh istrinya.
"Calon perawat tidak boleh makan sembarangan. Harus menjaga kesehatan," wanita itu balas menarik suaminya.
"Aku akan ajak Tari makan di tempat terbaik dan terjamin kebersihannya," laki-laki itu melotot ke arah istrinya.