Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cersil [Bagian 2] | Tembang Lelayu Lembah Senduro

1 Oktober 2019   07:55 Diperbarui: 26 Desember 2020   05:47 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah Sebelumnya

Akibat terkena serangan pukulan maut Sri Kantil, pendekar gondrong tak bernama itu terluka parah. Dan Sri Kantil mendadak sadar, pendekar itu bisa mati jika tidak segera mendapat pertolongan.

 ------

Bag. 2 Tembang Lelayu Lembah Senduro

Sesaat lamanya Sri Kantil duduk terdiam. Hatinya diselimuti kebimbangan. Antara harus menggunakan Jurus Gelora Napas Buatan atau tidak. Sebab, jika ia terpaksa menggunakan jurus itu ada risiko berat yang harus ia tanggung. Sebagian ilmu kesaktiannya akan lenyap. Dan jujur, Sri Kantil tidak menginginkan hal itu terjadi.

Tapi sepertinya gadis itu tidak mempunyai pilihan lain. Keadaan pendekar gondrong yang terbujur kaku di hadapannya terlihat semakin mengkhawatirkan. Sekujur tubuh pemuda itu mulai membiru dan mengeluarkan asap berwarna kuning.

Sri Kantil menghela napas panjang. Ia amat menyesal. Pukulan maut yang beberapa waktu lalu dihantamkan ke arah dada pendekar gondrong itu memang bukanlah pukulan biasa. Pukulan itu mengandung energi racun. Dan barang siapa yang terkena pukulan tersebut, kecil kemungkinan nyawanya akan tertolong.

Tidak!

Sri Kantil menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia tidak mau kehilangan lagi. Setelah kematian Nini Surkanti beberapa waktu lalu, kemudian disusul Ibunya---Roro Saruem, ia menolak bersedih hati lagi.

Sejenak Sri Kantil teringat bagaimana pendekar gondrong itu pernah menyelamatkan dirinya dari kejaran Pendekar Caping Maut. Peristiwa itu sempat membuatnya merasa berhutang budi. Meski pada akhirnya perasaan hutang budi itu harus pupus akibat hilangnya Kitab Kalamenjara.

Perlahan tangan mungil Sri Kantil menyentuh pipi pendekar gondrong yang semakin dingin dan membeku itu.

Pemuda ini memang amat menyebalkan! Tapi--ia terlihat jujur. Bisa jadi aku telah salah menuduh. Bisa jadi bukan dia pencuri Kitab Kalamenjara itu!

Sri Kantil mengomeli dirinya sendiri.

Ayo, jangan membuang-buang waktu lagi! Ia bisa benar-benar mati! Dan kau akan sendirian di dunia ini! 

Suara-suara itu membuat wajah Sri Kantil memerah.

Senja mulai menghilang di balik punggung Lembah Senduro. Sri Kantil beringsut menjauh beberapa meter dari tubuh pendekar gondrong itu. Sejenak ia memperbaiki posisi duduknya. Menekuk kedua kaki. Bersila dengan tubuh tegak dan dada membusung. Pandangan matanya diarahkan lurus ke depan.

Gadis itu mulai menghimpun tenaga yang sempat terkuras. Sembari memejamkan mata ia menghirup udara segar di sekitarnya sebanyak-banyaknya. Sementara kedua tangannya ditangkupkannya di atas dada.

Beberapa menit kemudian, entah dari mana datangnya, segumpal kabut berwarna pekat muncul bergulung-gulung. Disertai bunyi gemuruh dan gemeretak reranting pepohonan yang patah. 

Kabut pekat itu melaju ke arah Sri Kantil yang duduk anteng. Berpusaran dengan suara mendesing seperti gasing. Lalu tiba-tiba saja tubuh pendekar perempuan itu terangkat ke atas berjarak sekitar tiga jengkal dari permukaan tanah.

Tubuh itu---masih dalam posisi duduk bersila, melesat secepat angin menuju ke arah pendekar gondrong yang masih terbujur diam tak bergerak.

Tepat di atas tubuh pemuda itu, Sri Kantil menjulurkan kedua tangan di depan dada. Gerakan semirip menadah hujan itu membuat tubuh pendekar gondrong terangkat, semakin tinggi dan berhenti sejajar dengan posisi tubuh Sri Kantil.

Pemandangan ganjil pun terlihat. Dua sosok pendekar mengambang di udara. 

Sri Kantil menarik tangannya kembali. Lalu menundukkan kepala sedikit. Kini wajahnya bersentuhan dengan wajah dingin pendekar gondrong itu. Kabut yang menyertainya bergulung semakin liar. Tak ubahnya badai di tengah gurun pasir. Disertai debu-debu beterbangan menyesakkan napas.

Di antara suasana tak beraturan yang mencekam itu, Sri Kantil melatunkan sebait tembang Megatruh yang pernah diajarkan oleh Nini Surkanti.

Aja sipat tan pegat siyang myang dalu
Amuwun ing ngarsa mami
Nora pajar kang kinayun
Lah mara sira den aglis
Tutura mring jeneng ingong

(dari Serat Pragiwa)

Artinya:
Jangan terburu memisahkan antara siang dan malam
Menangislah di hadapanku
Bukan terang yang dikehendaki
Segeralah datang, sesegera mungkin
Bertuturlah atas namaku

Yang terjadi selanjutnya adalah, tubuh Sri Kantil terbanting keras ke atas tanah. Demikian juga dengan tubuh pendekar gondrong tak bernama itu. 

Sri Kantil terkulai lemas. Beberapa kali ia menyeka sudut bibirnya yang berdarah dan berbusa. Meski terluka dalam, Sri Kanti merasa lega.  Jurus Gelora Napas Buatan itu telah berhasil ia salurkan!

Napas Sri Kantil kian tersengal. Sekujur tubuhnya dibasahi keringat dingin. Selang beberapa menit tubuh ramping itu bergetar hebat bersamaan dengan menghilangnya kabut pekat ke angkasa.

Sekali lagi Sri Kantil merasakan satu hentakan hebat. Membuat tubuhnya terlempar dan mengejang. 

Dan sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, gadis itu lamat-lamat mendengar seseorang berseru panik memanggil-manggil namanya.

"Sri...Sri Kantil! Bangunlah!"

Bersambung ke sekuel bag 3 Bunga Tejakusuma

***

Malang, 01 oktober 2019

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun