"Aku tidak mencurinya, Sri! Sumpah!" pendekar gondrong itu mulai kewalahan menangkis serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh Sri Kantil.Â
"Jangan membohongiku! Kau mencurinya saat aku mandi di sungai kecil itu! Dasar lelaki pengecut!" Sri Kantil meluruskan kedua tangannya. Siap mengirim satu pukulan lagi yang diarahkan tepat ke dada pendekar gondrong itu.
" Jadi kapan kita akan menikah, Sri?" pendekar gondrong itu  memiringkan tubuhnya ke sana ke mari. Beberapa detik kemudian, tubuh kekar itu sudah hinggap di salah satu dahan pohon.Â
Sri Kantil menghirup udara sebanyak-banyaknya. Menghimpun kekuatan. Napasnya mulai terengah.
"Tuh, kan, Sriii! Kau mulai kelelahan. Aku mengkhawatirkanmu!" pendekar gondrong tertawa renyah seraya merebahkan punggungnya yang terasa pegal.
Wuuusshhh...Bet! Bet! Bet!
Desingan keras serupa angin puyuh mengguncangkan pohon di mana pendekar gondrong itu baru saja hendak memejamkan mata. Pohon itu meliuk-liuk hebat. Lalu merendah. Ujungnya nyaris menyentuh tanah.Â
Dan, tuingg! Tatkala pohon itu kembali berdiri tegak dengan kecepatan tak terduga, tubuh pendekar gondrong melesat ke udara seperti anak panah yang terlepas dari busurnya.
Selanjutnya tubuh perkasa itu jatuh bergedebum, tertelungkup mencium tanah tepat di ujung kaki Sri Kantil.
"Baiklah, Sri! Aku mengaku kalah!" pendekar gondrong itu menggapai-nggapaikan tangannya, krengkel-krengkel berusaha bangun. Darah segar mengalir dari hidung dan sudut bibirnya.
Melihat hal itu hati Sri Kantil berubah cemas.