Kemeriahan HUT RI ke-74 belumlah usai. Gaungnya masih terdengar di mana-mana. Mulai dari kota hingga pelosok desa. Semua  berlomba-lomba menggelar perhelatan sebagai bentuk penghormatan untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur demi membela tanah air.
Tentu saja kita berharap segala bentuk kemeriahan dan euforia yang dihelat bukanlah sekadar hura-hura tanpa makna. Setidaknya bisa membawa manfaat.
Seperti gebyar HUT Kemerdekaan yang digagas oleh para pecinta alam. Mereka menggelar acara akbar bertajuk Jambore Musik Kemerdekaan. Dan uniknya, perhelatan tersebut dilakukan di lereng Gunung Semeru, tepatnya di Gimbal Alas, Desa Ranu Pani-Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Eksotisme Lereng Semeru
Siapa yang tidak mengenal Gunung Semeru? Yup, gunung tertinggi di Pulau Jawa dengan ketinggian 3.676 mdpl. Untuk bisa mencapai puncaknya, para pendaki--yang memilih jalur Tumpang-Malang, harus melintasi sebuah desa bernama Ranu Pani. Desa yang semenjak dulu didapuk sebagai titik pemberangkatan awal bagi para pendaki.
Hari Minggu kemarin, 18 Agustus 2019, saya mendapat kesempatan menemani anak laki-laki bersama grup band yang diundang tampil sebagai salah satu pengisi acara di sana. Dan siang itu kami siap dijemput jeep yang disediakan oleh pihak panitia.Â
Jeep melaju sekitar pukul 12.00 WIB lewat daerah Tumpang-Kabupaten Malang.
Di separuh perjalanan, tepatnya di Dusun Ngadas, mobil dihentikan oleh warga setempat. Ada pemberitahuan bahwa serombongan karnaval akan segera melintas.
Mobil segera ditepikan. Para penumpang bergegas turun. Sebagian dari kami--termasuk saya lantas sibuk mengabadikan keindahan alam sekitar.
Tidak ingin menyia-nyiakan hiburan yang melintas di depan mata, kamipun berebut mengabadikan momen langka tersebut.
Ketika sampai di sebuah persimpangan, sopir membelokkan kendaraan ke arah kanan. Arah menuju Desa Ranu Pani. Sedang anak panah yang menunjuk arah kiri adalah arah menuju kawasan Gunung Bromo.
Tidak terasa mobil sudah memasuki kawasan yang bertuliskan Desa Wisata Ranu Pani. Alhamdulillah. Kami telah sampai di tempat tujuan.
Kedatangan kami disambut hangat oleh panitia pengundang. Diantar dan dipersilahkan istirahat di villa Gimbal Alas, sebuah pos persinggahan untuk para pendaki. Di sinilah ratusan pendaki dari seluruh penjuru mata angin melepas lelah sembari mengobrol, berdiskusi, atau memasak makanan sebelum akhirnya mereka melanjutkan perjalan menuju puncak Semeru.
Pada perbincangan singkat dengan salah seorang volunteer--Mas Andri Wibowo, saya mendapat bocoran, bahwa sebagai Desa Wisata, area Semeru dan sekitarnya belum sepenuhnya bebas dari polusi sampah. Sampah-sampah peninggalan yang dibuang secara sembarangan oleh para pengunjung.
Meski demikian--masih menurut Mas Andri, perbandingan jumlah antara pengunjung yang membuang sampah sembarangan dengan para relawan belumlah memadai.
Pesona Magis Danau Ranu Pani
Apa sebenarnya yang menjadi magnet Desa Ranu Pani selain pemandangan alamnya yang masih asri?Â
Danau.Â
Yup. Nun jauh di sana. Di sebuah tempat yang tersembunyi dari keriuhan, di antara rerimbunan pepohonan Gimbal Alas, terdapat sebuah danau yang fenomenal. Danau cantik itu bernama Danau Ranu Pani.
Ketika Mas Andi--salah seorang panitia mengajak berkeliling area danau, kami berdiri takjub. Tak mampu berkata-kata menyaksikan keindahan alam yang disuguhkan.Â
Air danau tampak begitu tenang. Bening seperti cermin. Sesekali semilir angin menyentuh, menggetarkan permukaannya. Tidak seluruhnya. Hanya sebagian.
di atas wajahmu yang bening, senja berjatuhan
di hela nafasmu yang hening, rasa syukur berhamburan
inikah potret indah negeriku?kugenggam tanya itu, ingin kubasuh hati yang berdebu
dengan senyum anggun yang sempat kau sembunyikan.
senyum yang beberapa kali nyaris terbunuholeh tajamnya mata pedang yang disarung para pemuja durjana
Kalau saja suhu udara yang semula 12 derajat celcius tidak merambah ke angka 10, barangkali akan lahir anak-anak puisi tak berkesudahan. Rasa dingin yang menggigit itulah yang membuat kami bergegas meninggalkan lokasi dengan langkah setengah berlari sembari mendesis untuk mengusir hawa dingin.
Waktu terus bergulir. Sekitar pukul 20.00 WIB tiba giliran Band C4--yang notabene personilnya para kawula muda dan kebetulan ada anak laki-laki saya di sana, harus naik pentas. Dan mereka bukanlah satu-satunya band pengisi panggung di malam itu. Ada puluhan seniman yang sedari pagi sudah berunjuk kebolehan.
Malam itu lereng Gunung Semeru yang biasanya senyap mendadak hingar bingar. Sorot lampu berwarna-warni diiringi musik cadas menggelegar seolah hendak membangunkan nyaris seluruh alam.
Bisa jadi pepohonan ikut menyanyikan tembang penuh semangat yang dilantunkan para penyanyi bersuara cadas. Atau mungkin saja air danau yang semula tenang bergerak lincah, menari-nari bersama tujuh bidadari yang turun dari langit.
"Tengah malam nanti salju akan turun," begitu suara santun Mas Andi sembari menatap kedalaman mata saya. Sebuah ajakan tersirat agar saya dan rombongan bersedia tinggal agak lebih lama lagi di Gimbal Alas.
Kami hanya mampu mengangguk. Mungkin bagi Mas Andi---sang pecinta alam sejati, salju yang turun adalah sahabat yang datang menyapa dan mesti ditemani hingga ia pergi. Tapi tidak bagi kami, yang terbiasa hidup termanjakan di sudut kota. Kami lebih memilih menunggu salju turun di atas hangatnya tempat tidur lewat mimpi.
Baiklah, Bro Andi dan kawan-kawan. Tetaplah eksis berjuang di dunia kalian. Tetaplah peduli pada Gunung Semeru--sang paku bumi dengan cara kalian sendiri. Kami akan senantiasa mendukung dari jauh.
Merdeka!
***
Malang, 21 Agustus 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H