Pengalaman gagal mencuri perhatian dengan memperkenalkan dongeng pernah juga terjadi saat saya menemani bimbel bocah-bocah usia TK. Saya begitu antusias ingin mendongeng fabel, kisah Kancil dan Buaya. Eh, bukannya memperhatikan, bocah-bocah itu malah asyik bercerita sendiri membahas film kartun Sponge Bob.Â
Mungkinkah Dongeng Nusantara Bisa Mendunia Seperti Aladdin?
Terlalu muluk jika saya bertanya demikian. Sedang budaya mendongeng seiring berjalannya waktu kian terkikis. Kalau toh ada, bisa dihitung seberapa banyak orang tua, guru atau pendidik yang masih menyempatkan diri mendongeng di hadapan anak-anak didik mereka. Atau, bisa jadi keadaannya terbalik. Semisal sang pendongeng sudah begitu antusias ingin bercerita, tapi pihak yang akan didongengi malah tidak merespon sama sekali alias tidak tertarik.
Kesimpulannya, mendongeng itu perlu kesabaran, ketelatenan  dan kreativitas yang tinggi agar terjalin sinergi antara pendongeng dan pendengarnya.
Seperti layaknya para penggagas film Aladdin. Mereka berusaha bersungguh-sungguh memvisualisasikan cerita rakyat Timur Tengah itu menjadi sebuah tayangan sinema yang hidup sesuai dengan imajinasi yang selama ini sudah melekat di kepala para pecinta dongeng. Hasilnya? Bukan hanya pecinta dongeng, bahkan yang belum pernah mendengar kisah Aladdin pun memberi respon positif dengan berbondong-bondong menikmati suguhan filmnya.
Kapan ya, dongeng Nusantara bisa setenar dongeng Aladdin?
***
Malang, 26 Juni 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H