Aku mengangguk. Meraih kembali secarik kertas berisi pesan singkat yang tadi sempat kubaca. Mbak Yun berdiri mematung di sampingku.
"Kalau kau berniat pulang kampung, aku bisa memesankan tiket kereta api saat ini juga," Mbak Yun berkata pelan. Aku terdiam. Mempertimbangkan tawaran Mbak Yun dengan perasaan bergejolak tak menentu.
"Aku paham apa yang kau pikirkan, Ris," Mbak Yun meletakkan satu tangannya di atas pundakku yang ringkih. Tenggorokanku tiba-tiba saja terasa kering dan tercekat.
"Kau pasti merindukan orang tuamu, bukan? Terutama Ibumu," Mbak Yun berkata lirih. Kupalingkan muka. Mataku terasa panas. Ada genangan hangat yang memaksa hendak menerobos keluar.
Di luar langit sibuk menebar awan bertabur mendung. Diiringi gemerisik angin yang berebut menampar kaca jendela. Seolah sengaja mendramatisir suasana agar tampil semakin muram.
"Aku sudah menyiapkan pakaian baru untukmu, Ris. Yang bisa kau kenakan saat pulang kampung nanti," Mbak Yun menepuk pundakku beberapa kali. Matanya yang teduh menatapku tak berkedip melalui pantulan cermin.
 "Baiklah, Mbak. Aku--akan pulang," aku menegakkan badan. Menghela napas dalam-dalam lalu mematikan lampu meja rias dengan kasar.
Seketika bibir manis Mbak Yun menyungging senyum.
***
Di ruang tamu yang penataan interiornya sama sekali tidak berubah meski beberapa tahun kutinggalkan, kulihat dua pini sepuh itu tengah duduk berdampingan. Dan aku tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak berhambur ke dalam pelukan mereka.
Ayah dan Ibu. Dua orang yang sangat kukasihi dan mengasihiku. Yang pernah kulukai dengan perilaku tidak wajar namun tetap berbesar hati menerima kepulanganku.Â