Bagiku, tidak menjadi soal. Toh, ada Airin atau tidak aku tetap bisa menjalani hidupku. Sekalipun, menurut Arya--sohib kentalku itu, hidupku terlihat amat semrawut dan amburadul.
"Kau menikah saja lagi, Yon. Supaya ada yang mengurusi kedua putrimu dan mengingatkanmu untuk potong rambut," suatu pagi Arya menegurku. Tentu saja aku menganggap apa yang diucapkannya hanya sekadar guyonan. Arya tahu betul, tak ada satu perempuan yang berani dekat-dekat denganku. Karena aku ini orangnya cenderung tertutup.
"Kukira saranmu sudah kedaluarsa, Ar. Anak-anak sudah mandiri dan aku--sepertinya tak butuh menikah," aku berkata santai.Â
"Ada beberapa kemungkinan yang membuat seorang laki-laki duda enggan menikah lagi. Salah satunya adalah, ia masih mencintai mantan istrinya," Arya  menimpali. Aku mendengus.
"Kau bisa membohongi banyak orang, Yon. Tapi kau tidak bisa membohongi dirimu sendiri," Arya menatapku tak berkedip.
"Maksudmu, aku masih mencintai Airin, begitu?" aku menaikkan sedikit alis mataku. Arya mengangguk.
"Untuk apa aku masih mencintainya, Ar? Dia sendiri sama sekali tidak memedulikan kami. Berapa kali ia datang menjenguk anak-anak? Hanya bisa dihitung dengan jari!" suaraku meninggi.
"Apakah kau pernah menanyakan penyebab hal itu? Maksudku, mengapa Airin jarang menemui anak-anakmu?" Arya masih belum melepaskan pandangannya dariku. Aku menggeleng.
"Itu tidak penting, Ar! Tidak ada urusannya lagi denganku!"
Arya terdiam. Sepertinya ia tidak ingin bertanya apa-apa lagi.
***