Ini senyumku tulus, Tuan. Tak ada satu pun yang kusembunyikan. Tidak juga menyimpan dusta, memar luka atau buliran airmata.
Senyum yang pernah hilang itu, Tuan. Kini kembali kutemukan. Jangan ditanya sejak kapan. Dan siapakah gerangan yang mampu membangunkan senyum yang sekian lama tertidur. Yang nyaris terkubur di antara puing-puing hati yang meruam hancur.
Baiklah, duhai, duli Tuanku, sang penguasa Negeri Tanah Bumbu. Jika engkau memaksa aku untuk jujur mengatakan. Aku akan berterus terang. Senyum itu kembali mengembang ketika lelaki jalang itu datang. Lelaki yang bangga mengaku bahwa dirinya adalah seorang bajinganÂ
Ia lembut mengulurkan tangan. Mengentasku dari kubang kesedihan.Â
Ia hadir di geragih pagi. Membawakanku seuntai ronce kembang melati.Â
Ia singgah di pusaran senja. Membacakanku bait-bait puisi indah.
Ia malaikat tanpa semat tanpa predikat.
Bagaimana, Tuan? Aku sudah berterus terang padamu. Tentang misteri senyum yang kauanggap menyimpan dusta itu. Dan andai hatimu masih diliputi rasa bimbang bercampur ragu. Jangan segan-segan. Titipkan saja pesan lewat embusan angin malam. Atau pada sekawanan bintang-bintang yang tak pernah bosan berkelindan dengan awan.
Aku akan berdiri di dekat jendela. Menunggu pesan-pesan darimu tiba.Â
Dan jika pesan-pesan itu telah sampai di tanganku. Akan kuhujam mereka. Satu persatu. Dengan senyum bertubaku yang paling mematikan!
***
Malang, 15 Maret 2019
Lilik Fatimah Azzahra
*Puisi ini merespon tantangan berbalas puisi bersama Mas guru Ropingi: Senyum di Antara Dusta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H