Di altar pagi. Sajak-sajak kami berebut mati. Terbunuh tanpa sempat menitip pesan. Atau sekadar meninggalkan jejak perpisahan.
Sajak-sajak kami tewas terkapar. Oleh hunus pedang para pereka makar.
Sajak-sajak kami adalah ungkapan perasaan cinta. Mengapa pula harus dibantai dan disalahartikan? Bukankah sejak dulu syair cinta mengabarkan berita bahagia. Bukan chaos atau delik syak wasangka.
Bagaimana kalau sajak-sajak pengganti yang kaugubah kusebut saja dengan sajak tak beradab? Yang ditulis oleh pecundang elit kelas kakap. Sungguh kau, biadab!Â
Sajak-sajakmu ternyata hanya bermuatan napas kedengkian. Tak layak disajikan di atas meja perjamuan. Apalagi dinikmati oleh kami---anak-anak negeri yang cinta perdamaian.
Kami rela sajak-sajak kami jatuh bergelimpangan. Asal lidah kami tidak menjual bisa dan kebohongan. Seperti yang selama ini sudah kaulakukan!
***
Malang, 11 Februari 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H