Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lemari

11 Januari 2019   17:43 Diperbarui: 11 Januari 2019   18:28 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tampilannya sudah kusam. Pintunya pun sudah rusak. Tapi aku belum ingin menggantinya.

Anak-anak berkali-kali memprotes. Menyuruh menyingkirkan saja lemari kayu itu. Alasan mereka, barang itu sudah tidak memadai lagi. Bahkan si sulung, Ainun, sempat menawarkan untuk membelikan yang baru.

"Itu lemari kenangan, Nun. Ibu tidak sampai hati menyingkirkannya," aku tetap bersikeras. Jika sudah begitu, tak satu pun dari anak-anakku yang berani bicara lagi. Mereka tahu, tidak bakal berhasil membujukku.

Aku memang tergolong keras kepala. Apalagi jika itu ada hubungannya dengan kenangan. Ada hal-hal indah yang tidak bisa tergantikan. Sekalipun oleh perjalanan waktu.

Masih bisa kuingat bagaimana Mas Siswoyo berjuang keras hanya agar bisa membelikan lemari itu.

Saat itu hidup kami memang masih diuji. Serba pas-pasan. Belum memiliki rumah sendiri. Masih mengontrak di sebuah rumah yang ukurannya tidak begitu besar. 

Sementara Mas Sis---begitu aku memanggilnya, kala itu hanya seorang pegawai serabutan.

Jika kukatakan lemari itu adalah satu-satunya barang paling berharga yang kami miliki, tentu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Untuk mendapatkannya, Mas Sis harus rajin lembur. Rajin menabung. Dan kami rajin pula mengencangkan ikat pinggang.

Saat keinginan memiliki lemari pakaian itu kesampaian, jangan ditanya bagaimana perasaan kami. Bahagia sekali. Hingga tanpa sadar kami berpelukan cukup lama.

Dan lemari itu pula yang berhasil menyelamatkan perkawinan kami yang nyaris terdampar.

Ceritanya, kehidupan kami mulai berubah ketika Mas Sis akhirnya diangkat sebagai pegawai tetap di tempat ia bekerja. Bukan hanya itu, ia dipercaya menempati posisi yang lumayan berpengaruh. Dampaknya kami tidak lagi tinggal di rumah kontrakan yang sempit. Kami sudah bisa membangun rumah sendiri meski masih tergolong sederhana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun