Self editing atau biasa disebut dengan swasunting---adalah sebuah proses yang dilakukan oleh seorang penulis, baik penulis fiksi maupun non fiksi untuk mengedit atau memperbaiki karya tulisnya sendiri.
Proses ini sangatlah penting. Sebab dengan melakukan self editing, penulis sudah berupaya meminimalis kesalahan yang terdapat di dalam tulisannya, yang tentu saja hal tersebut akan semakin meningkatkan rasa percaya diri dan kredibilitas si penulis itu sendiri.
Penulis novel fantasi dari Amerika, C. J. Cherryh mengatakan, "It is perfectly okay to write garbage---as long as you edit brilliantly."Tidak apa-apa menulis sampah---asal setelahnya Anda harus mengeditnya dengan cemerlang.
Dari pernyataan C.J. Cherryh tersebut kita bisa mengambil kesimpulan: menulislah. Abaikan apakah tulisan itu baik atau buruk. Tapi--setelah merampungkannya, Anda wajib membaca ulang dan memperbaiki!
5 Tahap yang Harus Dilakukan saat Proses Self EditingÂ
1. Jangan Puas dengan Draft PertamaÂ
Kebanyakan dari kita, merasa lega setelah bisa menyelesaikan sebuah karya tulis. Lalu berpikir, bahwa tulisan yang baru kita selesaikan itu merupakan tulisan yang sudah sempurna. Sudah cukup layak berlenggak-lenggok di depan pembaca.
Sebenarnya tidak begitu. Draft  yang pertama kali jadi, ibarat membuat adonan roti belumlah mengembang secara maksimal. Ada kalanya masih bantat. Masih perlu diendapkan beberapa saat. Perlu dibiarkan barang sejenak. Untuk kemudian ditengok kembali.Â
Saya sendiri termasuk orang yang suka bolak-balik menengok dan memperbaiki tulisan usai saya merampungkannya. Tidak hanya cukup satu dua kali. Berkali-kali. Hal ini saya lakukan khususnya pada karya tulis yang agak panjang.Â
Poses pengendapan tulisan ini bisa berlangsung beberapa jam---atau bisa juga beberapa hari, tergantung suasana. Pada saatnya nanti saya pasti akan kembali duduk manis. Menyapa tulisan saya dan mengamatinya lagi dengan seksama.
Surprise! Tiba-tiba saja saya menemukan begitu banyak 'kutu' berloncatan mengganggu tulisan saya. Padahal saat pertama kali saya menuliskannya 'kutu-kutu' itu tidak kelihatan.Â
2. Hindari Jatuh Cinta pada Tulisan Sendiri
Seringnya kita, para penulis secara sadar atau tidak telah jatuh cinta terhadap tulisan sendiri. Terlalu memuja dan bangga. Merasa tulisan kita sudah bagus dan ciamik.
Jatuh cinta ini memicu rasa egoisme muncul. Cenderung eman dan enggan mengakui bahwa masih banyak kekurangan dan ketidaklogisan dalam karya yang sudah kita buat. Karena kita sudah terlanjur jatuh cinta pada tulisan kita itu. Maka sulit menerima masukan dan kritikan dari orang lain.
Tentu saja hal demikian harus dihindari, karena pada akhirnya sangat merugikan si penulis itu sendiri.
3. Perdalam PUEBI dan KBBI
Ini termasuk langkah wajib bagi seorang penulis. Pembaca akan senang menikmati tulisan yang rapi, mengalir dan minim typo. Sungguh sangat menjengkelkan---melebihi rasa kesal kepada  Jeng Kellin saat kita dihadapkan pada karya yang membingungkan. Apalagi ditambah penggunaan bahasa yang belepotan, kalimat yang mbulet, paragraf yang amburadul, dan tata bahasa yang semrawut.Â
Untuk itu jangan segan membuka-buka PEUBI(Pedoman Ejaan Umum Bahasa Indonesia) dan KBBI(Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Tugas seorang penulis bukan sekadar ingin menyampaikan 'apa'. Tapi juga 'bagaimana' cara ia mengemas sebuah karya sehingga tampil menarik dan menawan untuk disuguhkan di hadapan pembaca.
4. Perkaya Diri dengan Kosa Kata
Salah satu sisi lain yang tidak kalah penting adalah pengayaan terhadap perbendaharaan kata. Perbendaharaan kata membuat kalimat yang dihadirkan mengalir luwes dan tidak monoton. Penuh variasi. Menghindarkan kebosanan membaca akibat terlalu sering menemukan pengulangan kata yang sama.
Himpunan kosa kata bisa ditemukan di pelbagai tempat. Bisa dari buku-buku panduan, atau tanpa sengaja terselip di dalam sebuah buku atau karya tulis orang lain yang sedang kita baca.Â
Intinya di sini: Jangan malas membaca!
5. Menjadi Raja Tega
Ini adalah bagian yang paling berat. Kita harus rela mengeksekusi beberapa kalimat di dalam tulisan kita sendiri. Senyampang kalimat tersebut memang harus dienyahkan.Â
Pemahaman terhadap 'kalimat efektif' dan 'kalimat tidak efektif' sedini mungkin harus sudah dikuasai. Gunanya untuk apa? Agar apa yang ingin disampaikan kepada pembaca mudah dimengerti, tidak bertele-tele atau berkepanjangan. Sehingga tidak menimbulkan kebingungan dan asumsi yang berbeda alias rancu.
Demikianlah 5 tahap yang bisa dilakukan menuju proses swasunting.
Meski  tidak ada tulisan yang benar-benar sempurna. Namun bukan berarti kita abai lantas berpikir,"Ya, sudahlah. Kemampuan menulis memang hanya sampai di situ. Mau bagaimana lagi?"
Banyak hal bisa kita lakukan. Tidak ada salahnya terus giat berlatih, belajar memperbaiki karya serta meningkatkan kemauan dan kemampuan.
Karena semakin giat seseorang berlatih, semakin terasahlah kemampuan yang dimilikinya.
Selanjutnya, jika Anda berminat mengirimkan karya tulis ke penerbit, mengunggah di blog pribadi atau media online keroyokan semacam Kompasiana ini, setidaknya rasa percaya diri sudah tergenggam di tangan. Sebab Anda sudah melakukan hal terbaik dan semaksimal mungkin terhadap karya tulis Anda sendiri.
Terima kasih.Â
Salam hangat dan tetap semangat menulis!
***
Malang, 01 Desember 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H