Pada sekuntum mawar yang tumbuh anggun di halaman. Diam-diam rindu kusembunyikan. Kusematkan satu-satu. Di sela-sela duri yang menyerupai jeruji paku.
Aku berharap. Di suatu pagi yang masih gelap. Kau terbangun dari tidur lelap. Lalu datang bertandang. Memetik mawar itu. Merengkuhnya erat-erat di dalam dekap paling hangat.Â
Pada setangkai kecubung yang tumbuh liar di lereng gunung. Kutitip rindu tiada terbendung. Kugantung rindu itu tinggi di pucuk awan.
Aku berangan. Di suatu senja ketika musim hujan mulai menyapa. Kau terkesima. Sebab, di antara rinai yang melompat-lompat. Kau melihat. Rinduku meregang begitu hebat.
Pada setangkup melati yang tumbuh bersahaja di pinggir kali. Kuselipkan rindu tiada terperi. Kurangkai hati-hati. Hingga membentuk lingkar kalung suci. Kusematkan pada leher seekor angsa. Sebagai pertanda. Setia itu selalu terjaga.Â
Kelak jika takdir baik itu benar adanya. Aku ingin kau tidak saja membawakan setangkai bunga. Tapi juga mempersembahkan cinta
Ini masih tentang wangi rindu. Yang belum sepenuhnya direstui oleh waktu.Â
***
Malang, 20 November 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H