"Makanlah. Aku bisa puasa untuk hari ini," ia bicara pada monyet kecil itu. Sang monyet tidak segera mengambil pisang yang tergeletak tak jauh dari tempatnya meringkuk. Ia mengedip-ngedipkan matanya sejenak, menatap Sarman tua dengan pandang jenaka.
"Kenapa?" Sarman tua mengernyit dahi. Sarimin ingin mengatakan sesuatu. Tapi monyet kecil itu hanya mampu mengeluarkan bunyi nguik-nguik riuh dari mulutnya.
"Oh, soal itu? Tidak jadi masalah. Kau tetap memperoleh jatah pisang meski tidak memainkan atraksi apa pun. Sudah, ah. Jangan terlalu baper," Sarman mengulurkan tangannya. Sarimin datang mendekat. Hewan berbulu lebat itu menyusup di sela-sela ketiaknya. Seraya mengeluarkan bunyi rintih kecil. Semirip tangisan bocah.
"Ambil dulu pisangmu. Tidak baik menyia-nyiakan makanan. Nanti Tuhan marah," Sarman mendorong lembut tubuh Sarimin. Dan monyet kecil itupun menurut.
Sarman tertawa terkekeh saat melihat Sarimin datang kembali padanya dengan menyodorkan sedikit sisa pisang.Â
"Habiskan saja pisang itu. Sudah kubilang aku bisa menahan lapar sepenuh hari ini," Sarman mengelus kepala Sarimin.
***
Lelah yang mendera membuat Sarman mengantuk berat. Laki-laki tua itu akhirnya tertidur. Dan suara dengkurnya yang naik turun, mengundang beberapa anak yang kebetulan pulang sekolah menghentikan langkah.
Anak-anak yang masih berseragam itu terkejut saat melihat ada mahluk kecil lucu duduk menunggui seorang laki-laki tua yang tengah tertidur pulas.Â
"Ada monyet!" salah satu anak berbisik. Anak-anak yang lain mengiyakan. Lalu entah apa yang ada di dalam pikiran mereka, tahu-tahu mereka membawa Sarimin pergi ke tanah lapang.
"Hayuuuk tunjukkan kebolehanmu di hadapan kami!" beberapa anak berteriak-teriak lantang. Sementara beberapa yang lain memukul kendang milik laki-laki tua yang sedang pulas di Poskamling itu.