Selain Kota Batu, Lawang sebagai bagian serpihan Kota Malang, juga memiliki potensi tidak kalah menariknya sebagai tujuan destinasi wisata. Lawang memiliki daya pikat tersendiri. Utamanya keindahan panorama alam yang mengitarinya.Â
Perkebunan Teh Wonosari Lawang
Bicara Perkebunan Teh Wonosari. Setidaknya mengingatkan kita pada peninggalan zaman kolonial yang masih tersisa hingga kini yang produktivitasnya masih terus dioperasikan.Â
Panoramanya yang asri dengan udara sejuk khas pegunungan, menjadikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Siapa saja akan betah berkunjung dan berlama-lama berada di sana. Saya sendiri sudah beberapa kali dolan ke tempat ini. Dan sungguh, saya tidak pernah merasa bosan.Â
Untuk menuju Perkebunan Teh Wonosari, kurang lebih membutuhkan durasi waktu sekitar 1 jam dari pusat Kota Malang. Jarak ini bisa ditempuh dengan kendaraan roda 4 atau roda 2. Kondisi jalan, sudah cukup memadai. Bisa dijangkau dari segala arah dengan mudah.
Jelajah Bukit Kuneer
Minggu pagi kemarin, 11 November 2018, bersama anak laki-laki saya berangkat pagi-pagi menuju lokasi perkebunan. Sekitar pukul 09.00. Udara masih bersih. Dan saya meniatkan. Kunjungan saya kali ini tidak sekadar duduk manis menikmati secangkir teh baru petik, melainkan ingin menjelajah sisi lain keindahan yang tersimpan di balik Bukit Kuneer. Bukit yang terletak di bagian barat perkebunan, tepat di bawah kaki Gunung Arjuno.
Perkebunan teh ini milik PTPN XII, berada pada ketinggian 950-1250 Mdpl.
Begitu sampai di lokasi, usai membayar tiket masuk yang tidak terlalu mahal, hanya 15K perorang, kami menyampaikan kepada petugas bahwa kami hendak meluncur ke Bukit Kuneer. Petugas kemudian memberi petunjuk arah mana yang harus kami lewati.
Jelajah medan dimulai dari kondisi jalan yang gronjalan diseraki bebatuan besar, yang bisa saja menggulingkan motor jika pengendara tidak berhati-hati melewatinya. Dan ini merupakan suatu tantangan serta pengalaman yang cukup seru. Beberapa kali saya minta turun dari boncengan karena takut terlempar dari motor.Â
Sebenarnya jarak Bukit Kuneer dari lokasi perkampungan perkebunan tidak terlalu jauh. Tapi karena kondisi jalan yang masih belum memadai, membuat perjalanan terasa agak lamban.
Sembari menunggu mesin motor dingin, kami duduk-duduk melepas lelah. Mencuri satu dua gambar untuk diabadikan.
Sempat terbersit untuk balik turun mengingat sulitnya medan dan seberapa jauh lokasi Bukit Kuneer. Beruntung kami melihat seorang bapak setengah umur melintas di depan kami menggunakan motor. Kami mencegat bapak tersebut--secara sopan tentunya. Untuk bertanya lebih detil seputar lokasi bukit yang kami tuju.
Alhamdulillah. Bapak tersebut--Pak Kukuh namanya, ternyata adalah kepala koordinator yang mengawasi para pekerja perkebunan. Dari beliau kami mendapat banyak informasi.
Adalah seorang Noni Belanda, putri pemilik perkebunan teh yang pada masa itu jatuh cinta terhadap seorang pemuda pribumi bernama Hasan--santri pondok pesantren terdekat yang bekerja sebagai buruh petik di perkebunan teh tersebut. Dan Bukit Kuneer adalah tempat pertemuan rahasia mereka. Bukit itu kemudian melegenda, karena dianggap sebagai saksi bisu berseminya cinta dua anak manusia yang berbeda strata dan kultur.
Kisah tersebut dituturkan sedemikian lancar oleh Pak Kukuh.
Sebagai penulis fiksi, tentu saja saya merasa amat gembira, serta sedikit baper usai mendengar kisah romantis tersebut. Imajinasi saya seketika meliar. Saya seolah melihat Noni Belanda yang cantik jelita itu, yang secara diam-diam mengawasi Hasan, pria pujaan hati yang sibuk mengangkut keranjang berisi petikan pucuk-pucuk daun teh yang beraroma  wangi.Â
Kalau saja anak lanang tidak menyentuh lengan saya sembari bertanya, "Mom, perjalanan mau dilanjut tidak?", barangkali saat itu saya masih tenggelam dalam romansa cinta yang terjadi berabad-abad silam itu.Â
Perjalanan Panjang Perkebunan Teh Wonosari
Begitu sampai di area Bukit Kuneer, hal pertama yang saya lakukan adalah mengabadikan pemandangan alam sekitar. Angin berembus sejuk berpadu dengan latar belakang Gunung Arjuno, mampu mengobati rasa lelah yang beberapa saat mendera.
Dan benarlah. Mata saya akhirnya tertumbuk pada sederetan banner yang sudah usang, yang dipajang rapi di punggung bukit.
Banner-banner itu bertuliskan sejarah panjang perjalanan Perkebunan Teh Wonosari.Â
Wah, menarik sekali. Ternyata dulunya Perkebunan Teh Wonosari bukanlah perkebunan yang spesifik menanam tanaman teh saja. Melainkan juga menanam tanaman jenis lain seperti kopi, coklat dan tebu.
Seperti yang tertera pada tulisan sederhana pada banner di bawah ini.
Woow, saya meniti di atas jembatan cinta. Dan saya sungguh sangat terpukau. Hamparan luas kebun teh yang menghijau asri memanjakan tidak saja mata tetapi juga hati.Â
Dan seolah pula saya melihat Noni Belanda yang cantik itu. Berlari-lari kecil menyibakkan rambut dan gaun putihnya yang berumbai-rumbai tertiup angin. Menyongsong seorang pemuda berkulit kecoklatan sembari berseru riang, "Ik hou van je, Hasan! "
***
Malang, 12 November 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H