Perempuan cantik itu melirik sekali lagi ke arahku. Tepatnya ke arah kakiku. Lalu berjalan menuju pintu, membukanya dan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh atau berkata sepatah kata pun kepadaku.
"Bisa kau pergi sekarang? Aku tidak ingin Nyonya Rika marah lantas memecatku hanya gara-gara tidak becus mengurusi tamu aneh sepertimu!" satpam kekar itu kembali menggelandang lenganku. Aku mengibas.
"Tidak perlu mengusir saya sekasar ini! Saya akan pergi baik-baik. Dan tolong katakan pada Nyonya cantik majikan Anda itu, saya Amarylis menjadi paham sekarang--mengapa Ayah tidak mencegahnya pergi dari rumah kami saat itu," aku berjalan melenggang meninggalkan rumah besar berpagar besi tinggi itu, dengan perasaaan tercabik.
Langkahku kembali terseok menyusuri jalanan. Menuju setasiun di mana kereta api senja akan segera membawaku pulang.
***
Beberapa tahun kemudian.
Di teras rumah yang sederhana, aku duduk menemani dua laki-laki hebat yang sangat kucintai.
Langit malam itu tengah disinari bulan purnama.
"Kapan kalian akan melangsungkan pernikahan?" suara Ayah renyah. Mata tuanya yang teduh menatap kami--aku dan Mas Ilham, bergantian.
"Secepatnya Ayah. Usai Amaryl menyelesaikan skripsinya," Mas Ilham yang menjawab seraya menumpangkan satu tangan di atas paha kaki kiriku. Kaki yang bentuknya tidak sempurna sejak kecil. Kaki yang menderita polio. Kaki yang membuat Ibu--perempuan separuh bulan itu memilih pergi.
***