Aku menengadah. Sudah begitu banyak bunga-bunga serupa kapas itu beterbangan memenuhi udara. Membuat napasku terengah dan tenggorokanku kering.
Sementara beberapa meter dari tempatku berdiri, Arya duduk berselonjor kaki. Tubuhnya yang kekar menimpa rerumputan yang menghampar. Ia membiarkan sebagian tanaman berakar serabut itu patah. Serta mengacuhkan satu dua batangnya menempel manja di sekitar celana jeans yang dikenakannya.
Barangkali inilah yang membedakan antara aku dengan Arya. Pria itu sangat pintar menyembunyikan perasaanya. Paling-paling ia mengekspresikan segala unek-uneknya dengan mengumbar tawa atau menggigiti batang rumput sampai gepeng dan terasa sepah.
Sementara aku, masih tetap dengan tabiat lamaku. Menyimpan segala sesuatu di dalam hati. Menumpuknya sedemikian rupa. Baru ketika dadaku terasa penuh dan sesak, aku akan berlari ke sini. Ke padang ilalang di balik bukit ini. Menghabiskan waktuku berlama-lama dengan meniup berbatang-batang bunga Dandelion sebagai pelampiasan, sepuasku.
"Sepertinya itu Dandelion yang terakhir, ya, Mayang?" suara Arya berkejaran dengan deru angin, bergaung di telingaku. "Kau mesti menunggu satu musim lagi untuk bisa mendapatkan bunga-bunga kapas itu. Tapi jangan khawatir, aku berjanji akan mengantarmu ke sini lagi!" Masih. Arya mencoba mempengaruhiku, agar aku menoleh.
"Bunga-bunga balon itu baru saja menyampaikan perasaanmu padaku, Mayang. Mereka sepakat bilang, kalau hari ini kau sedang cemburu berat padaku!" Arya mencecarku lagi dengan kata-katanya. Kali ini diselingi tawa khasnya yang renyah.
Dalam hati aku mengeluh. Dandelion sialan! Mengapa mereka tidak bisa menyimpan rahasiaku barang sedikit saja agar tidak diketahui oleh pria tengil itu?
Memang benar saat ini aku sedang cemburu. Cemburu yang amat sangat.
"Apalagi yang dikatakan bunga-bunga itu padamu?" Aku memalingkan wajah. Kulampiaskan perasaan kesalku dengan mempermainkan Dandelion terakhir di tangan, yang tangkainya meliuk-liuk tertiup angin.Â
"Ayo, tiuplah Mayang! Setelah itu, kau bisa duduk di sini, di sebelahku. Menggigiti batang rumput-rumput ini bersamaku!" Arya berseru lagi.
Dandelion di tanganku tiba-tiba bergetar. Seolah-olah meminta agar aku segera meniupnya kuat-kuat.
Tapi tidak. Aku tidak ingin melakukannya. Jika benar ini Dandelion terakhir, tentu saja aku harus menjaganya baik-baik.Â
Senja bergulir sedemikian cepat. Warna jingga di pipi langit telah berubah menjadi gelap abu-abu.
"Kita pulang sekarang, Mayang?" Arya sudah berdiri di belakangku. Aku mengangguk. Tanganku masih menggenggam erat bunga Dandelion yang mulai merapuh.
"Kau ingin membawanya pulang?" Arya menatapku. Â Aku mengangguk lagi.
Sepertinya Arya tidak ingin bertanya apa-apa lagi. Ia hanya mengulurkan tangannya yang berotot. Merangkul pundakku, membawaku pergi meninggalkan padang ilalang yang rumputnya masih terus bergoyang, melambai-lambai meski tidak lagi tertiup angin.
***
Musim terus bergilir. Aku masih rajin datang berkunjung ke padang ilalang itu. Tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan.Â
Seperti senja ini. Aku berdiri menatap barisan Dandelion yang sedang mekar. Indah. Kelopaknya membentuk bulatan-bulatan putih seperti anak-anak rembulan yang bangun kesiangan. Pucat tetapi sangat menawan.
"Kau tidak ingin meniup bunga bola-bola itu, Mayang?"
Aku menggeleng. Lalu tersenyum manis ke arah pria gagah yang bicara padaku. Yang sejak tadi berdiri di sebelahku dengan sorot mata hangat.
"Ini untuk kesekian kalinya aku mengantarmu ke sini, Mayang. Tapi tak ada sesuatu pun yang kaukerjakan. Kecuali menatap berlama-lama pada bunga-bunga lembut yang rapuh itu," Dimas menyentuh punggung tanganku.
Kukira aku tidak perlu menjelaskannya apa-apa padanya---pada Dimas.Â
Juga, aku tidak akan mengatakan rahasia ini kepadamu. Mengapa akhirnya aku memilih Dimas menjadi suamiku. Bukan Arya.
***
Malang, 24 Oktober 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H