Entah mengapa dinamai kamar bersalin. Tentu tak perlu diperdebatkan. Juga, mengapa penghuninya ibu-ibu yang kelelahan. Tapi kemudian tersenyum dan melupakan. Memilih memeluk bahagia lebih dari segalanya.Â
Lihat pula di sana. Di depan kamar bersalin. Bapak-bapak menunggu di sudut teras. Dengan wajah harap-harap cemas. Ada sebagian wira-wiri tanpa suara. Bungkam. Namun di relung hati paling dalam, tentu saja banyak hal yang dibicarakan.
Sudah berapa generasi terlahir dari kamar bersalin. Yang ukurannya tak lebih luas dari lapangan bola. Cukup sekadar leluasa tuk hirup udara. Embuskan napas panjang. Sebagai bekal menyongsong buah hati yang digadang-gadang.
Sudah berapa paduan suara tercipta. Dilantun oleh bibir-bibir mungil menyapa dunia. Lengking tangis tanpa airmata. Adalah senjata ampuh yang mampu membuat runtuh. Bahkan hati yang mengaku membatu bak gunung berpuncak salju.Â
Rumah bersalin akan selalu ada. Tak pernah menutup pintu- pintu kamarnya. Bagi para malaikat yang datang bertandang. Memandu tamu-tamu kecil kesayangan. Kekasih Tuhan.
***
Malang, 23 Oktober 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H