Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Miss You] | Syair Kematian

22 Oktober 2018   11:48 Diperbarui: 22 Oktober 2018   11:53 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki itu menghidu udara dalam-dalam. Dadanya terasa penuh. Ia tahu, sewaktu-waktu maut akan datang menjemputnya. Kapan saja dan di mana saja. Maut yang meminjam tangan seorang perempuan.

Ya, ia seperti hantu--perempuan itu. Ia bisa berada di mana-mana. Membayanginya. Di empat penjuru mata angin. Kemana pun kaki melangkah pergi, pasti lelaki itu akan bertemu dengannya.

Berkali-kali lelaki itu mencoba menghindar. Tapi berkali pula ia tak berdaya dan nyaris kehilangan nyawa. 

Seperti kejadian Minggu lalu. Andai saja tidak diselamatkan oleh seorang detektif muda berbakat--Tuan Baron, ia yakin tubuhnya saat itu sudah terkoyak habis, dirajam seperti daging cincang. Kemudian dilempar ke dalam kandang singa yang berhari-hari tidak disuguhi makanan.

Lelaki itu bergidik. Ia teringat bagaimana sorot mata perempuan itu. Begitu dingin dan menghujam. Tajam. Lebih tajam dari ujung pisau berkilau, yang berkali-kali ditusukkan di atas dadanya.

"Kau pantas mati, kekasihku..." suara El yang lembut dan tenang justru membuatnya seperti terlempar ke dalam jurang tak bertepi yang teramat sangat dalam.

Lelaki itu tak berkutik. Begitu juga ketika El mendekatkan wajah tirusnya yang cantik lalu mendaratkan dua kecup hangat di keningnya.

"Satu kecupan selamat tinggal. Dan satu kecupan lagi, untuk  upacara penyambutan. Selamat datang di neraka, duhai lelaki bangsat!"

Lelaki itu kehabisan kata-kata. Ia pasrah. 

Namun di sepersekian detik saat titik kesadarannya mulai melemah, Tuan Baron datang!

***

Lolos dari cengkeraman maut yang dibawa oleh El, Tuan Baron menyarankan agar lelaki itu mengubah identitas dirinya. Total. Tuan Baron bahkan tak segan memberi rekomendasi. Bahwa ada seorang dokter ahli bedah terkemuka yang bersedia membantunya.

Lelaki itu setuju.

Maka di suatu malam yang gelap tanpa diterangi sinar rembulan, diam-diam lelaki itu meluncur ke alamat dokter ahli bedah sesuai dengan yang disarankan oleh detektif muda itu.

Di pintu pagar, ia disambut oleh pria tua penjaga rumah. Kemudian diantar menuju ruangan besar di mana dokter ahli bedah itu sudah menunggu.

Lelaki itu baru saja hendak mengucapkan salam kepada dokter yang duduk memunggunginya. Ketika tiba-tiba kursi dokter itu berputar menghadapnya.

Spontan lelaki itu terpekik.

El!

Perempuan itu menyambut kedatangannya dengan secercah senyum dingin.

***

Kali ini tak ada lagi kesempatan untuk meloloskan diri. El sudah menguncinya di sebuah ruangan yang hanya diterangi oleh temaram cahaya lilin. Dan tubuh lelaki itu terbaring tak berdaya di atas ranjang dengan kaki dan tangan terikat erat.

"Kau tahu? Aku paling benci berlama-lama membiarkan pisauku ini tidak bekerja," El menjilati tepian pisau yang berkilau terkena cahaya lilin yang meredup tertiup angin. Lidahnya yang memerah dadu terjulur basah.

"Tapi kali ini, ya--khusus kali ini saja, aku tidak ingin terburu-buru. Aku masih ingin bermain-main denganmu, menikmati indahnya malam bersamamu," El mendekat. Ia menatap wajah pias lelaki di hadapannya itu. Lekat-lekat. Masih dengan seulas senyum beku dan pekat.

Aku pernah merindui lelaki rimbawan. Yang pada hatinya tumbuh bertangkai kembang mawar. Yang pada matanya kutemukan dua tombak panah berapi. Satu tombak berujung cinta dan satunya lagi--durjana.

El bergumam seolah membaca selarik mantra.

"Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?" perlahan tangan El mulai bergerak. 

Untuk beberapa saat lamanya sekujur tubuh lelaki itu menegang.

***

Ketika jemari lentik El sudah sampai pada lehernya, lelaki itu berbisik pelan.

Kukuliti sunyi. Kurangkai menjadi titian asa agar segera menuntunku menujumu. Dan jika benar rindu bersembunyi di pelupuk mata rembulan, sebelum aku mati, aku tak akan segan menghadirkannya ke hadapanmu. Sebagai hidangan perjamuan pesta rindu kita, malam ini.

Entah itu bait puisi atau hanya sekelumit kalimat tak berarti. Lelaki itu tak peduli.

El terdiam. Tiba-tiba saja wajahnya terasa panas. Dan ia tak mampu lagi mencegah anak-anak gerimis berhamburan menari-nari di seputaran cahaya dingin kedua matanya.

"Kau...benar-benar lelaki keparat!" tubuh El gemetar. Lalu dengan sekali sentak ia melemparkan pisau di tangannya ke luar jendela.

Lelaki itu menghela napas panjang. Lega.

***

Di sebuah kamar berukuran tak seberapa luas, dua perempuan duduk bersebelahan.

"Gadis belia itu, ia terlalu cerdas bekerja sebagai pembantumu," perempuan berwajah tirus berkata pelan.

"Nurul, maksudmu?" perempuan berwajah tegas menyipitkan kedua matanya.

"Oh, namanya Nurul, ya?"

"Dia anak tukang jagal langgananku di pasar," perempuan berwajah tegas menjelaskan seraya berdiri.

"Kukira kau lebih jagal dari ayah gadis itu, Des," perempuan berwajah tirus tertawa. Lalu ikut berdiri. Merapikan ujung lengan gaunnya yang kusut.

Kini kedua perempuan cantik itu sama-sama berdiri. Berhadapan.

"El, kau melakukannya lagi?" perempuan berwajah tegas tiba-tiba menghujamkan pandang ke arah perempuan yang dipanggilnya El.

"Apakah kau melihat sesuatu pada diriku, Des?"

"Ya, El. Aku melihatnya. Syair cinta itu. Ia telah membuatmu menyerah!"

El terdiam. 

Dan secara diam-diam pula perempuan itu meraba bibirnya yang pucat. 

Bibir yang semalam mendapat satu kecupan hangat, dari lelaki yang kembali lolos dari maut bernama kematian.

***

Malang, 22 Oktober 2018

Lilik Fatimah Azzahra

*Cerpen ini kami buat untuk mencumbui rindu (Desol, Putri, Lilik, N.Setia P)

Baca pula kisah terkait:

Eleonora

Cara Lain Rindu Membunuh

Unspoken

Dua Perempuan

Perayaan Para Perempuan

En, Pesta Belum Berakhir!

Wawancara Kematian

Kedatangan Nyonya Lily

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun