Ia menangkup punggung gelas dengan tangan gemetar. Hatinya diliputi bimbang manakala mengetahui isi gelas itu. Kental dan berbau anyir.
Sesaat lamanya ia terdiam. Membiarkan pikirannya riuh bergulat sendiri.
"Efek apa yang bakal saya dapatkan setelah minum seduhan jamu ini?" akhirnya ia bertanya. Pelan.
"Rasa panas dan mulas."
"Hanya itu?"
"Ya hanya itu. Sebelum janin itu keluar dengan sendirinya dari rahimmu."
Ia terjengah. Membayangkan segumpal darah yang baru berusia 4 minggu itu luruh, merembes melewati selangkangannya.
Sekali lagi matanya yang sembab menatap isi gelas yang ampasnya mulai mengendap.
Tiba-tiba saja ia seperti terbangun dari mimpi.
"Bisakah jamu ini saya minum di rumah? Saya lupa tadi belum sarapan," ia menyodorkan gelas yang dipegangnya ke arah perempuan paruh baya yang tak henti memandanginya.
Tak ada sahutan. Hanya anggukan kecil sebagai pertanda bahwa keinginannya disetujui.
Seraya memegangi perutnya yang masih rata ia menyusuri jalanan berbatu menuju rumahnya.
Sejenak kemudian, sebelum membuka pintu pagar ia melempar bungkusan jamu ke dalam tong sampah.
***
Perempuan itu masih terlihat cantik. Meski tanpa makeup sisa-sisa kecantikannya masih sangat kentara. Hanya saja, ya hanya saja. Ia merasa sedikit kurang bahagia. Sebab sampai usianya di batas senja, tak pernah ia merasakan bagaimana menjadi perempuan yang sempurna. Perutnya tak pernah menggelembung sebesar bola. Tetap saja langsing dan rata.
Ia sebenarnya amat merindukan tangis bayi. Tapi kerinduan itu berusaha disimpannya sendiri, dalam-dalam. Tak pernah sekalipun ia tunjukkan pada orang lain, kecuali pada bunga-bunga di taman, di mana setiap sore ia menyiraminya. Menyingkirkan daun-daunnya yang kering.
"Kau masih lebih beruntung dari aku, mawar. Meski tumbuh di tempat yang kering, matahari masih bisa menghamilimu. Memberimu keturunan sebanyak ini," ia bergumam lirih. Jarinya yang lentik menjentik perlahan pada sebatang mawar yang dipenuhi duri.Â
Tentu saja mawar-mawar itu tidak menjawab. Mereka hanya mengangguk, itupun diwakili oleh embusan angin.
Perempuan itu menyudahi pekerjaannya, menggunting beberapa tangkai mawar. Lalu memasukkannya ke dalam vas. Kemudian dipajangnya di atas meja ruang tamu.
Sore ini lelakinya akan pulang. Lelaki yang amat gentle. Yang berani berterus terang telah memiliki wanita lain. Dan perempuan itu harus ikhlas menerimanya. Tersebab alasan yang disampaikan oleh lelaki yang disebutnya sebagai suami itu sangat masuk akal.
"Aku butuh generasi penerus. Bersamamu aku tidak bisa memiliki keturunan. Dan, dia--sudah mengaku hamil," suatu siang, beberapa bulan yang lalu, perempuan itu mendengar kabar langsung dari suaminya itu. Tentu saja ia pura-pura bersikap tenang. Tidak terlihat panik atau terkejut.Â
Perempuan itu tahu. Suatu saat hal ini pasti akan terjadi. Sudah banyak bukan kejadian semacam ini? Ia bukan perempuan satu-satunya yang mengalami nasib kurang beruntung sebagai perempuan yang divonis mandul.
"Nikahi dia. Semoga setelah ini kau merasa bahagia," perempuan itu berkata amat singkat. Sesingkat ia menyeka peluh di dahinya yang tiba-tiba saja mengucur.
Jarum jam di dinding berputar lebih cepat dari biasanya. Entah mengapa begitu. Bisa jadi waktu tengah berlari terburu-buru mengejar sesuatu.
Dan lelaki yang ditunggu oleh perempuan itu, sore itu benar-benar pulang.
Tak ada kecupan seperti dulu-dulu mendarat di keningnya. Hanya sapaan ringan sekadar basa-basi.
"Aku ingin mengemasi barang-barangku," lelaki itu berkata tanpa menoleh. Masuk ke dalam kamar. Perempuan itu membuntuti.
"Kau sudah beberapa minggu tidak pulang. Masa kau tidak merasa kangen terhadapku?" perempuan itu bertanya ragu. Lelakinya bungkam. Tangannya sibuk memasukkan pakaian ke dalam kopor yang diletakkan di atas tempat tidur.
"Bayi itu sangat lucu. Dia suka pipis sembarangan. Nih, aku bau pesing!" lelaki itu membaui ujung lengan kemejanya. Perempuan itu tersenyum.
"Kau tampak bahagia sekali, aku senang melihatnya. Sekarang, sebelum kau pulang ke rumah istri mudamu, mari temani aku minum kopi barang sebentar," perempuan itu menatap lelakinya dengan pandang penuh harap.
Dan hari itu, senja berakhir dengan amat manis.
***
Perempuan setengah umur itu kembali bicara pada bunga-bunga di taman.Â
"Rindu telah menjatuhkan pilihannya. Dan aku ingin kalian tetap menemaniku," perempuan itu menyisiki tangkai mawar yang berduri. Dengan pisau tajam yang ujungnya berlumuran darah segar berbau anyir.
"Aku telah menelpon polisi. Kukatakan, aku baru saja menyembelih suamiku."
Perempuan itu menyematkan setangkai bunga mawar di atas cuping telinganya. Lalu tertawa.
***
Malang, 19 Oktober 2018
*Cerpen ini kami buat untuk mencumbui rindu,
  Lilik, Desol, Putri
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI