Baiklah, sekarang begini saja. Kita berdua mencoba bermain opera. Di atas panggung. Yang kursi-kursinya kosong tanpa pengunjung, seorang pun.
Bagaimana? Aku ingin melakonkan cerita tragis. Tapi tentu saja tanpa dibumbui adegan sadis. Apalagi sampai ada ratap tangis mengiba berlapis-lapis.
Dalam kisah tragis ini. Aku ingin berperan sebagai Eng Tay. Yang menyamar menjadi pria gagah. Mendermakan bakti sebegitu rupa. Tanpa memandang derajat atau strata. Semata-mata tercurah dari hati yang dipenuhi cinta.
Sedang engkau adalah Koh Sam Pek itu. Lelaki baik asal Kuaji. Yang tak pernah menyadari. Bahwa Eng Tay adalah perempuan. Yang di hatinya tlah tumbuh perasaan. Sedemikian dalam. Padamu. Tanpa engkau sedikit pun tahu.
Sampai di sini, kita bisa mengubah alur cerita. Tak perlu ada kematian di penghujung kisah. Biarlah sepasang kupu-kupu itu terbang. Mengitari indahnya pelaminan. Bukan sepinya pekuburan.
Oh, baiklah. Kau ternyata tidak suka bermain opera. Kau lebih memilih kita duduk-duduk saja. Di atas perahu sampan. Menikmati angin senja yang berembus perlahan. Sembari menunggu badai menerjang. Agar engkau memiliki alasan. Membawaku lari ke tepian. Memeluk erat pinggangku yang gemetaran. Menghangatkan bibirku yang pasi kedinginan.
Tapi tunggu dulu! Aku ini tak suka laut. Bukan karena merasa takut. Aku hanya tak ingin laut kembali mengingatkan. Pada masa lalu yang amat buram. Yang sudah kukubur dalam-dalam.
Jadi bagaimana?
Baiklah. Sekarang begini saja. Aku tetap bermain opera di atas panggung. Sendirian. Sementara engkau duduk saja di perahu sampan, ditemani kecomang. Nanti, jika rindu tiba-tiba datang menyerang, tak tertahankan. Mari kita segera bersua. Di suatu tempat yang amat rahasia.Â
***
Malang, 15 Oktober 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H