Kau berseru lantang. Pada seekor kunang-kunang yang melintas terbang di depan tungku perapian. Aku baru saja kehilangan! Larik-larik puisi yang kujerang, raib!
Kunang-kunang yang sedang terbang seketika berhenti. Menangkupkan kedua sayapnya hati-hati. Mendengar serumu dengan perasaan sedih.
Baginya, penyair tanpa puisi adalah berarti, ia harus bersiap-siap untuk mati.
Kau sendiri. Setelah mengikrarkan pengakuan mencengangkan itu. Merasakan dadamu melesak penuh. Bergemuruh. Lalu jantungmu seolah menyempit. Ukurannya tak lebih dari selengkung bulan sabit. Peluh di sekujur tubuhmu mengucur deras. Membentuk anak sungai berhawa panas. Siap direnangi oleh sekawanan anai-anai yang demam dilanda cemas.
Sekarang dengarlah! Kunang-kunang akan meminjamkan sayap-sayapnya kepadamu. Agar engkau segera terbang jauh. Menemukan kembali larik-larik puisimu. Yang kau sangka hilang. Yang katamu, bisa saja disembunyikan. Oleh para bidadari yang menyepi karena patah hati.Â
Kau lantas beralih rupa. Menjelma menjadi seekor rama-rama. Terbang terlunta-lunta mengitari senja dan tepiannya. Mencari jejak puisi di antaranya. Hingga sayap kunang-kunang yang kau pinjam. Rajam. Tersangkut di pucuk runcing dedaun pohon cemara.
Tahukah kau? Larik-larik puisi yang kau cari. Kiranya bersembunyi di sini. Di sudut paling gelap hatiku. Yang sekian lama dilamur rindu.
***
Malang, 15 Oktober 2018
Lilik Fatimah Azzahra