Aku tak malu mengakui. Bahwa bersamamu aku yang semula dungu berubah menjadi lucu.Â
Kau pasti tidak percaya. Kedunguanku sudah teramat parah.
Aku pernah berpikir. Matahari amatlah jahat. Sebab panasnya demikian menyengat. Terutama bagi hati yang memendam kesumat. Oleh cinta yang berkhianat. Seolah- olah, matahari adalah sekumpulan kaum pelaknat.Â
Tapi setelah bertemu denganmu. Aku tak lagi membenci matahari. Sekarang kami menjadi begitu dekat. Sesekali ia--matahari, membuatkanku secangkir coklat. Yang di atasnya ditaburi serpih-serpih sayap malaikat
Kau pasti tidak menduga. Bahwa dulu aku pembenci senja. Berkali aku menyumpahinya. Memakinya dengan kata-kata, bedebah, enyahlah! Atau ujaran penuh kebencian. Wahai, senja! Tak pantas kau berdiri di sana. Di panggung langit yang amat megah hanya untuk mengumbar sensasi cinta.
Tapi setelah berjumpa denganmu. Tetiba saja hatiku meluruh. Aku kini pemuja senja. Sebab ternyata. Di setiap kehadirannya. Senja tak pernah sendiri. Ia selalu datang beramai-ramai. Bersama senyummu. Juga tawa riangmu. Yang sungguh. Mampu menghidupkan kembali. Rinduku yang selama ini nyaris mati.
Kau pasti tidak mengira. Kedunguanku tak bisa ditoleransi. Aku pernah berkali-kali mengasah belati. Hanya demi membunuh kenangan dan anak-anak sunyi.
Tapi kemudian. Setelah bersamamu aku menjelma menjadi perempuan. Yang menertawakan tidak saja kenangan dan sunyi. Melainkan juga diri sendiri. Yang kerap mengaku bahagia. Namun di bawah kolong meja, kusembunyikan berkantung-kantung airmata.
Sekarang aku bertanya. Kelucuanku di mana?
***
Malang, 08 Oktober 2018