Kami berdua memiliki cara-cara menyenangkan untuk merawat persahabatan. Salah satunya dengan bertemu, ngobrol ringan, atau sekadar makan bakso bareng. Meski tidak terlalu sering. Setidaknya sebulan kami berusaha meluangkan waktu satu atau dua kali pertemuan. Cukuplah itu sebagai penawar rasa kangen.
Jarak dan waktu bukanlah alasan bagi kami untuk melaksanakan panggilan hati. Yup, kami meyebutnya panggilan hati. Sebab kami merasa sama-sama mudah trenyuh, gampang terharu. Bedanya, say Desol--demikian saya memanggilnya, penampilannya jauh lebih tegar dari saya. Sedang saya orangnya cenderung gembeng, mewekan.
Jika pagi ini saya sengaja menuliskan sekelumit perjalanan persahabatan kami, bukan bermaksud apa=apa. Hanya sebagai pengingat. Betapa beruntungnya kami dipertemukan dalam sebuah taman bernama persahabatan yang begitu indah. Taman di mana kami bisa bersama-sama belajar merawat syukur dan bahagia dengan cara kami sendiri.
Seperti suatu siang, beberapa bulan lalu, ujug-ujug kami bertemu. Janjian kilat makan bareng di sebuah depot yang lumayan terkenal. Tapi siang itu kami niatkan, kami tidak ingin makan hanya berdua. Kali ini kami ingin makan bareng bersama 'mereka'.
Mereka? Mereka itu siapa?
Sembari mengobrol riang kami melenggang menuju sebuah rumah untuk menjemput 'mereka'. Ya, mereka. Seorang Ibu beserta anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Yang hidup menjanda karena suaminya sudah dipanggil Tuhan terlebih dulu. Kami hanya ingin menyenangkan hati dan melihat seyum mereka.Â
Jadilah siang itu kami duduk bareng dalam satu meja. Dan yang paling membahagiakan adalah saat kami berhasil melihat senyum terukir dari wajah-wajah mungil di hadapan kami.
"Mbak, kita ngebakso yuk. Menurut kabar ada bakso yang enak banget. Namanya bakso kecambah," say Desol menjapri saya dengan emo khasnya, cekikikan.
"Hayuuk..." saya merespon balik. Dibarengi emo yang tidak kalah hebohnya.
"Ntar usai ngebakso kita berbagi..." dia menambahkan. Tentu saja saya langsung mengiyakan.
Lantas kami segera merealisasikan niat. Jadilah siang itu. Di siang yang cukup terik, karena Malang belum diguyur hujan, sekitar pukul 11.00 siang, kami janjian bertemu di suatu tempat.
Saya pergi menggunakan jasa gojek. Kebetulan anak lanang yang biasa menemani sedang ada lembur kerja. Sementara sahabat saya membawa motor sendiri. Karena suaminya belum pulang dari dinas di luar kota.
Tersebab belum pernah menyambangi bakso kecambah, saya berdiri di depan Kampus Wearnes menunggu kedatangan sahabat saya. Kami bertemu di sana, lalu berbarengan menuju lokasi yang terletak di Jalan Salatiga.
Saat tiba di lokasi, kami berdua sempat saling berpandangan. Surprise. Penampilan bakso kecambah ternyata jauh dari dugaan kami. Tidak seperti warung bakso kebanyakan yang kerap kami kunjungi. Rombong bakso kecambah mangkal di sisi jalan tepat di belakang Kampus UM. Tanpa pengiyup atau tudung selayak warung.Â
Saya dan say Desol celingak-celinguk sebentar. Mencari tempat duduk. Tapi tentu saja tidak akan menemukan. Bukan kehabisan. Ternyata memang di bakso kecambah sengaja tidak disediakan tempat duduk barang satu pun.
Loh, jadi bagaimana pembeli menikmati bakso mereka?
Inilah yang unik. Pembeli rela makan sambil berdiri. Atau jika ingin sedikit santai, bisa duduk-duduk ngemper di taman yang tidak terlalu luas. Taman yang ditumbuhi banyak bunga Bougenvil.
Tapi di taman itu pun jangan berharap menemukan tikar atau sejenisnya. Hanya ada bongkahan batu bata atau pecahan semen yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat duduk.
Selagi sahabat saya sibuk mencari tempat untuk ngemper, saya gegas memesan bakso kecambah. Satu porsi lengkap, berisi 6 butir pentol ukuran sedang, 2 iris tahu goreng, mie kuning, bihun, toping kecambah dan irisan sawi. Semua hanya dihargai Rp15.000,00. Murah meriah, bukan? Kompasianer jika kebetulan berkunjung ke Malang, silakan mampir ke sini yaa...
Usai ngebakso kami tidak langsung hengkang dari lokasi. Kami masih memiliki kegiatan lain. Yakni mengepaki kue-kue untuk dibagikan kepada mereka.
Kami berdua ini--hadeeuh, ternyata tidak kalah unik dari bakso kecambah. Sekalipun kue-kue sudah masuk ke dalam kardus, ternyata kami belum tahu kue-kue tersebut akan dibagikan kepada siapa.
Tapi it's oke. Memang begitulah kami. Kami suka bertindak tanpa berpikir panjang. Yang penting ada niat. Jalankan. Itu saja.
Kue-kue sudah masuk ke dalam kresek besar. Kami pun segera meninggalkan lokasi. Kali ini saya membonceng di belakang sahabat saya. Kami mengawali perjalanan dengan menyisir jalanan menuju ke arah timur.
Penerima kue pertama adalah seorang bapak sepuh pengayuh becak. Beliau tengah lelap-lelap ayam ketika saya menyerahkan kardus kue kepadanya. Ekspresinya sempat terkaget-kaget saat ada mahluk tiba-tiba muncul di hadapannya. Selanjutnya, alhamdulillah, kami berhasil melihat juga senyum itu.
Laju motor mengarah ke arah Jalan Ijen yang bersih, asri dan lengang. Lagi-lagi kami melihat beberapa bapak pengayuh becak sedang duduk melamun menunggu datangnya penumpang. Dengan langkah masih semangat saya mendatangi mereka. Dari jauh sahabat saya menunggu di atas motor.
Dan senyum sumringah pun berhasil terukir kembali. Senyum yang barangkali sudah jarang dipamerkan.
Hampir satu jam kami berkeliling, kresek besar di tangan pun sudah kosong. Kami sepakat mengakhiri perjalanan dan memutuskan rehat di Alun-alun Kota.
Di atas hamparan rumput Alun-alun, kami melepas lelah. Sembari berselonjor kaki saya membuka percakapan.
"Say...pelajaran apa yang kita dapatkan hari ini?"
Sahabat saya menyeka keringat yang membasahi dahinya. Seraya membetulkan resleting jaket yang terbuka ia menjawab.
"Rasa syukur, Mbak. Saat melihat Ibu-ibu pemulung tadi, aku jadi teringat Ibu di rumah. Beruntung sekali Ibuku tidak sampai seperti itu."
Saya setuju dengan kalimat sahabat saya. Lalu kami sama-sama terdiam. Barangkali saat itu batin kami bicara tentang hal yang sama.
Ya, rasa syukur kadang sering terlupakan. Kita lebih memilih sibuk berkeluh kesah dengan hal-hal yang tengah kita hadapi. Sementara banyak di luar sana orang-orang pinggitan, berumur, yang gigih berjuang mempertahankan hidup mereka.
Tanpa terasa hari sudah menjelang petang. Waktunya untuk pulang kembali ke rumah. Ada tanggung jawab lain yang sudah menunggu.
Saat ber-say goodbye, mata kami sempat bertemu. Seolah bicara.
"Kita pasti akan melakukannya lagi, bukan? Menyisir jalanan, melakukan hal sederhana. Hanya sekadar ingin melihat senyum-senyum mereka..."
***
Malang, 08 Oktober 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H