Kita di hadapan kata-kata tak lebih dari sebuah arca. Yang membisu gagu tanpa bisa berbuat apa-apa. Lihatlah. Ketika kata-kata berdansa bersama kebencian apakah kita mampu mencegah atau meredam? Juga, pada saat kata-kata menyanyi sesuka hati, mempersembahkan lagu kenyinyiran tiada henti. Kita serupa boneka. Diam nyaris tak bisa membungkam.
Kita di hadapan kata-kata tak ubahnya seperti terdakwa. Duduk meringkuk di kursi pesakitan menunggu palu diketuk pengadilan. Tok!Tok!Tok! Palu dipukulkan seharusnya bukan di atas permukaan meja tapi lebih tepat di pusat batok kepala.
Siapa yang mampu mencegah manakala kata-kata sudah beringas bagai hujan yang tumpah menderas? Menerjang ke sana ke mari merupa taufan yang tak peduli. Apakah yang diucap itu bernurani, Â beradab ataukah malah biadab.
Kita di hadapan kata-kata tak ubahnya seperti pecundang. Yang sering gagal mengendalikan tali kekang. Yang lebih suka terjerembab di atas tumpukan sampah ujaran. Lalu memilih mati. Tak terhormat. Dieksekusi oleh kata-kata kita sendiri.
***
Malang, 19 September 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H