Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dongeng | Minakjinggo Gandrung

13 September 2018   00:49 Diperbarui: 13 September 2018   07:31 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:www.youtube.com

Sejak pertama kali melihat Kenya Ayu Dewi Kencana Wungu, hati lelaki bernama Jaka Umbaran alias Minakjinggo itu bergetar hebat. Ia sendiri sempat terkejut. Sudah lama ia tidak merasakan hal seperti ini. Ubun-ubunnya terasa umep, menggelegak karena cinta yang membara. Senyum Kenya Ayu yang manis ibarat secawan madu lebah yang menggoda untuk direguk. Tutur kata lembut perempuan penguasa Negeri Majapahit itu bak buluh perindu yang membuai kalbu. 

Nyaris berhari-hari Adipati Minakjinggo terbelenggu gandrung kapirangu. Jatuh cinta setengah mati. Tembang Asmaradahana adalah syair yang tiada henti dilantunkannya sebagai seslimur hati.

Dua istrinya, Dewi Wahita dan Dewi Puyengan merasa bingung dan khawatir. Sebab sang suami tak lagi berkenan dilayani baik di meja makan maupun di peraduan. Adipati Minakjinggo memilih berpuasa, tidur terpisah dari kedua istrinya. Menyendiri di dalam kamar yang berada jauh dari kadipaten serta mengunci rapat-rapat pintunya agar tak seorang pun datang mengganggu.

"Duh Diajeng Ratu Kencana Wungu. Semakin hari cintaku padamu semakin tak terbendung," keluhnya pada suatu malam. Di mana ia tak kuasa lagi menahan gejolak asmara. Ia merasa hampir gila. Maka tanpa sepengetahuan penghuni Kadipaten Blambangan, Adipati Minakjinggo melesat pergi. Meninggalkan kamarnya dengan membawa sesuwunging hati.

***

Nun jauh di sana, di istana Kerajaan Majapahit, Kenya Ayu Dewi Kencana Wungu tengah berada di taman kaputren. Malam itu bulan sedang purnama penuh. Cahayanya benderang menerangi seluruh alam. Taman kaputren yang dihiasi bunga-bunga aneka warna pun tampak berkilau indah.

Wajah jelita sang Dewi semakin bersinar manakala kepalanya menengadah ke arah langit. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai meriap-riap diterpa angin malam. Lekukan tubuhnya yang indah dari jauh menjelma menjadi siluet yang memukau akibat terkena pantulan sinar bulan.

Adipati Minakjinggo yang berada tidak jauh dari tempat sang Dewi berdiri terkesima. Ia nyaris melompat andai saja tidak ingat bahwa dirinya adalah seorang petinggi negeri yang patut menjaga tata krama.

Dewi Kencana Wungu sendiri bukan tidak tahu. Sejak memasuki taman kaputren ia sudah merasakan ada sepasang mata tengah mengawasinya. Dan ia tahu pula siapa pemilik mata yang tak henti menatapnya itu.

"Seorang ksatria sejati tidak layak bersembunyi. Tunjukkan dirimu duhai, Kakang Minak. Mari kita bicara," Dewi Kencana Wungu berbalik badan. Menatap sosok yang berdiri ragu di dekat rerimbun bunga-bunga.

Seketika Minakjinggo mendekat. Menghaturkan sesembah dengan menekuk satu kakinya. Ia merasa begitu tersanjung oleh perlakuan ramah seorang ratu yang selama ini amat diimpikannya.

"Apakah Dinda Ratu sudah mengerti perihal kedatangan hamba kemari?" penguasa Blambangan itu bertanya gugup. Ratu Kencana Wungu mengangguk.

"Saya tahu Kakang datang hendak menagih janji atas salah satu hadiah sayembara yang pernah saya gelar," Ratu Kencana Wungu menyahut.

"Benar sekali Dinda Ratu. Hingga kini Dinda belum memenuhi janji akan menikah dengan hamba apabila berhasil mengalahkan Kebo Marcuet," wajah Adipati Minakjinggo bersemu merah.

"Baiklah Kakang. Saya akan memberi jawaban atas janji itu. Tapi sebelumnya bolehkah saya minta sesuatu?" Kenya Ayu maju beberapa langkah. Wangi rambutnya yang tergerai menguar. Membuat sekujur tubuh Adipati Minakjinggo gemetar.

"Apapun yang Dinda Ratu minta hamba akan penuhi," penguasa Blambangan itu menangkupkan kedua tangannya di atas dada.

"Buatkan saya geguritan, Kakang Minak," Ratu Kencana Wungu berkata seraya tersenyum.

Tanpa menunggu lama Minakjinggo yang sedang dimabuk asmara itu segera meraih sebatang lidi. Di atas daun lontar ia mulai mengguratkan kalimat demi kalimat hingga tersusun menjadi geguritan yang mewakili perasaan hatinya.

Duh Kenya ayu kusumaning ati...
tuwuhing katresnanku iki
dudu awu sajroning pediangan
Rasa iki rumekso soko jroning manah
Tanpa udakara tanpa rudapeksa
satuhu namung kaunjuk dening salira

Saenggo panyuwunku
mugi saget tinampi dening manah kabagja

*Duh, Putri jelita...
tumbuhnya cinta ini
bukan abu di dalam tungku api
perasaan ini terjadi dari dalam hati
tanpa perkara tanpa paksaan
tertuju hanya untukmu
Sehingga ku berharap
semoga bisa diterima dengan hati bahagia

Usai menggoreskan larik-larik geguritan tersebut Adipati Minakjingga menyerahkannya kepada Ratu Dewi Kencana Wungu. Sang Ratu tersenyum sumringah. Diselipkannya geguritan itu ke dalam lipatan kembennya.

"Terima kasih Kakang Minak. Sekarang Kakang boleh beristirahat di wisma puri para tamu. Besok pagi saya akan memberi jawaban atas pernyataan cinta Kakang kepada saya."

Malam itu Adipati Minakjinggo sangat gelisah dan nyaris tak mampu memejamkan mata. Ia tak sabar menunggu datangnya pagi. 

Sementara di dalam bilik kaputren, Kenya Ayu Dewi Kencana Wungu tengah serius menulis jawaban di bawah geguritan yang ditulis oleh Adipati Minakjinggo. 

Di akhir kisah bisakah Anda menerawang untuk mengetahui jawaban apa kira-kira yang akan Ratu Kencana Wungu sampaikan kepada penguasa Negeri Blambangan itu?

***

Malang, 13 September 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun