Di pojok ruang pikir yang keruh, penuh dengan gurat masa lalu, seorang perempuan sibuk mengikat kenangan. Mengumpulkan serpih demi serpih dalam satu wadah. Berniat menghanyutkannya ke samudera antah berantah.
Entah apa yang ada di benaknya-- perempuan itu. Barangkali ia lelah. Atau bisa jadi merasa jenuh. Entahlah. Yang pasti kenangan yang menumpuk di dalam karung sudah siap untuk dilarung.Â
Satu kenangan berambut ikal, berwajah oval, bertingkah bengal, melompat uwal membebaskan diri dari ikatan. Gegas kenangan nakal mendekati sang perempuan. Sembari tersenyum kenangan itu berujar,"Aku tak akan pergi meski kau usir berkali-kali. Sebab aku tahu tanpa hadirku hidupmu akan terasa sunyi."
Sang perempuan tergugu. Ia ingin sekali menyangkal sekaligus membenarkan. Tapi lidahnya mendadak kelu bibirnya beku sulit digerakkan.
Kenangan berambut ikal meraih kecapi. Lincah jemarinya memainkan melodi.
"Jangan suguhkan lagu menyayat itu lagi. Aku tak suka mendengarnya." Perempuan pemilik kenangan berkata lirih seraya diam-diam menyeka sudut matanya yang basah. Kenangan seketika berhenti. Ia berdiri. Diulurkannya tangan. Diajaknya perempuan itu turun ke lantai dansa. Lalu berdua menari melupakan segala pedih. Mengurai segala resah.
Sementara di beranda pagi, wajah mentari berseri-seri. Menyaksikan perempuan dan kenangan berpelukan. Mentari pun perlahan menjerang embun, menyeduh kehangatan, membagikan cinta dan menaburkan kasih sayang ke segala penjuru semesta alam.
***
Malang, 08 September 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H