Di setiap panggung opera, dari masa ke masa, cinta memainkan perannya sedemikian rupa. Ada kisah yang diwarnai bunga-bunga. Ada kisah yang dibanjiri oleh airmata.
Di pentas opera yang gemerlapan. Pelakon cinta harus rela mengenakan kostum dan atribut yang sudah dipersiapkan. Juga riasan wajah sesuai karakter yang hendak dimainkan.
Nuansa merah. Perlambang hati yang tengah dilanda asmara. Semua tampak begitu indah. Penonton di atas tribun terkagum-kagum.Â
Warna hitam. Menggambarkan cinta berselimut kabut. Membuat penonton terhanyut. Tenggelam dalam haru biru menggelayut.
Kelir putih. Tak selamanya bermakna ketulusan. Dalam opera cinta, putih bisa saja berubah menjadi abu- abu. Atau warna-warna lain yang dimau. Dan penonton pun dibuat termangu-mangu. Sebab dari warna yang tampak begitu suci tak jarang lahir cerita yang sungguh sulit dipahami.
Dari waktu ke waktu panggung opera cinta selalu begitu. Senantiasa diselingi oleh kisah mengejutkan. Seperti legenda mengharukan Romi dan Juli. Atau kisah tragis Sampek dan Engtay. Mengapa cinta harus selalu berakhir mengenaskan?
Demikian juga kita. Aku dan kamu. Yang hingga kini masih saja duduk terdiam. Membisu di kursi penonton paling depan. Padahal musik sudah diperdengarkan. Dan lampu-lampu hias pun marak dinyalakan. Pertanda tiba giliran naik ke atas pentas. Gegas tuk memainkan peran.
Mari kekasihku, kita segera menuju panggung. Menyuguhkan kisah cinta yang paling agung.Â
Dan di penghujung opera kelak. Ketika waktu berhenti berdetak. Mari kita persembahkan twist, liukan cerita yang sama sekali tidak tertebak.
***
Malang, 01 September 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H