Terima kasih untuk kepingan bulan, yang kau kirim lewat angin di sepertiga malam. Kupajang ia di sisi peraduan. Agar sewaktu-waktu bisa kurengkuh, atau kupeluk sepenuh hatiku.
Sejak kau kirim kepingan itu. Malam tak lagi mengeluh sunyi. Rama-rama lincah menari. Gagak-gagak merdu bernyanyi. Tak lagi terdengar lantun tembang kematian. Kunang-kunang riang melenggang. Peri-peri sibuk berdandan. Mematut diri di depan retakan bulan. Berebut bedak berebut gincu.
Meski hati terbujuk ingin. Mengintip raut di serpih cermin. Seberapa kusut wajah merenta. Selebar apa lingkar hitam di bawah mata. Namun selalu terkurung wurung. Sebab tak ingin saat bercermin bayangan kelam datang merundung.
Terima kasih untuk kepingan bulan, yang menitip aroma wewangi bunga. Kuharap saat mimpi terjaga, ini bukan bualan belaka. Atau rayuan ala pujangga. Â
Sekarang aku pamit padamu. Biar kusimpan kepingan itu. Entah di pagi yang ke berapa, kelak kurendam pecahan bulan. Ingin kusesap manisnya cinta yang kau selipkan di endapan tirta. Tapi yang pasti tidak sekarang. Sebab masih ingin kucari retakan lain. Tuk kembalikan bulan utuh seperti kemarin. Semisal telah kutemukan serpihan di sebalik batu. Maukah engkau membantuku? Merekatkan bulan berdua saja. Dengan tangan saling bertumpangan--dengan mata saling bertatapan.
***
Malang, 30 Agustus 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H