"Ah, itu bukan hal yang sulit bagi saya. Tapi sebelum duduk, bisakah Anda melepas dulu kumis palsu dan wig Anda? Di hadapan saya, Anda tidak perlu repot-repot menyamar sebagai laki-laki," aku menarik kursi. Kemudian melangkah menuju dispenser di sudut ruangan. Kuseduh satu sachet kopi instan ke dalam cangkir dan kusuguhkan di hadapan tamuku.
"Silakan, white cofee untuk menyambut pertemuan tak terduga kita," ujarku tanpa memedulikan ekspresi heran yang masih terbias di wajah perempuan yang menyamar itu.
"Kasus Anda sungguh luar biasa, Nona Mirza," aku mengalihkan pembicaraan. Menatap mata perempuan itu serius.
"Seperti yang saya duga, Anda ternyata sudah mempelajari kasus saya, Miss. Sherlick," tamu itu mendesah. Ia mulai melepas kumis dan wig yang dikenakannya. Aku meraih surat kabar yang terselip di bawah kolong meja. Lalu meletakkan lembar berisi beragam berita itu ke hadapan tamu cantik yang menyudahi penyamarannya sendiri itu.
"Belakangan nama dan foto Anda sangat tenar, Nona Mirza. Hampir semua media mempublikasikannya."
Ia terdiam.
"Anda adalah saksi kunci yang paling ditunggu-tunggu, Nona Mirza. Jika Anda berani muncul ke hadapan publik dan menjelaskan dugaan--maaf, affair--Anda dengan pria keturunan Timur Tengah itu, maka masalah ini akan cepat selesai. Tapi sebaliknya, jika Anda memilih bungkam, opini masyarakat akan terus bergulir tak bisa berhenti," aku menatap tamuku tak berkedip.
"Saya kira masalahnya tidak semudah itu, Miss. Sherlick. Anda tahu, saya sedang berhadapan dengan siapa."
Aku mendengus. Kuakui, kasus yang menimpa Nona Mirza bukanlah kasus biasa. Kasus ini memang menyeret nama besar seseorang.
Sejenak hening menguasai. Tamu cantik yang tengah duduk di hadapanku itu perlahan meraih cangkir di atas meja dan menempelkan ujungnya pada bibirnya yang pucat.
"Miss. Sherlick, entah mengapa saya tergerak datang kemari menemui Anda," ia menyeruput kopinya sedikit. Wajahnya yang pias tampak semakin putih oleh sorot lampu yang meremang.Â