Hal yang pertama kali melintas dalam pikiran kita setiap menyongsong datangnya Idul Adha adalah sosok Nabi Ibrahim as. Ya, dari perjalanan kisah beliau-lah perintah menjalankan ibadah kurban itu diturunkan.
Kesabaran dan ketakwaan Nabi Ibrahim sebagai hamba dalam menjalankan perintah Allah tidak diragukan lagi. Tidak terbayangkan jika perintah mengorbankan anak sendiri pada masa itu diamanahkan kepada Ayah selain Ibrahim. Tentu kisahnya akan jauh berbeda.
Dan Allah tidak pernah salah dalam menjatuhkan pilihanNya. Yakni mengangkat derajat Nabi Ibrahim sebagai Khalilullah--kekasih Allah. Yang mencintai dirinya (Allah) melebihi dari apa pun.
Dimulai dari masa kecil Nabi Ibrahim yang terlahir dari keluarga penyembah berhala. Ayahnya--Azar, adalah seorang pemahat patung. Ibrahim kecil kala itu tidak mengikuti jejak Ayahnya. Ia berusaha mencari sendiri keberadaan Tuhan. Dan ia berhasil menemukannya dengan cara mempelajari dan meyakini bahwa seluruh alam beserta isinya yang ada di dunia ini tentu ada yang menciptakan.
Ibrahim kemudian diangkat oleh Allah sebagai Nabi. Utusan yang mengemban tugas mulia yakni mengajak orang-orang terdekat untuk beriman hanya kepadaNya. Tapi usaha Ibrahim sia-sia belaka manakala Ayahnya sendiri menolak mentah-mentah ajakannya itu. Bahkan ia harus terusir dari rumahnya.
Tidak cukup sampai di situ. Suatu waktu karena dakwahnya yang berseberangan dengan ajaran setempat, ia harus berhadapan dengan Raja Namrud. Penguasa negeri Kan'an itu marah besar. Lalu membakarnya hidup-hidup. Tapi Allah melindunginya dan menyelamatkan nyawanya dari api yang menyala-nyala.
Ibrahim kemudian memutuskan untuk mengembara. Ia tetap berlaku sabar menghadapi segala ujian. Sampai suatu ketika ia bertemu dengan Siti Sarah, perempuan cantik yang masih memiliki garis keturunan dengannya. Kecantikan dan keelokan budi Siti Sarah menjadikan Ibrahim berniat menyuntingnya.
Gayung bersambut. Siti Sarah menerima pinangan Ibrahim. Lalu keduanya menikah. Bersama Siti Sarah, Nabi Ibrahim melanjutkan misi berdakwah. Mulailah Allah menambah ujian-ujian untuk menakar kadar kesabaran dan keimanan seorang utusan Allah.
Ujian terberat bagi Nabi Ibrahim adalah ketika mengetahui Siti Sarah tidak bisa memiliki keturunan darinya. Pernikahan yang berjalan puluhan tahun itu mereka lalui dalam sepi. Tapi meski demikian mereka menjalani dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Sedang ujian bagi Siti Sarah yang tak kalah menguras emosi adalah saat ia harus rela berbagi cinta dengan budaknya sendiri. Siti Hajar.
Sekalipun kehadiran Siti Hajar jauh-jauh hari sudah disepakati dan bahkan ia sendiri yang memberi izin agar Ibrahim menikahi budaknya itu, toh sebagai perempuan normal Siti Sarah tetap tidak mampu menyembunyikan rasa cemburu. Rasa yang tentu saja sangat manusiawi. Dan rasa cemburu itu kian meluber ketika mengetahui Siti Hajar telah hamil.
Selayak perempuan yang dibakar api cemburu, Siti Sarah pernah lalai, melakukan hal-hal di luar kontrol akal sehatnya. Ia pernah menusuk telinga Hajar dengan duri bunga mawar hingga terluka. Untunglah Nabi Ibrahim mampu melunakkan hati istri tuanya itu. Dengan penuh kesabaran ia berusaha memberi pengertian kepada Siti Sarah.