Malam itu ketika merapikan properti mendalang, Ki Dalang Basuki tercengang. Kumbakarna--wayang  kesayangannya, raib. Ia pun mulai panik.
Ki Dalang akhirnya membongkar kembali wayang-wayang yang semula sudah disusun rapi di dalam peti. Dikeluarkannya seluruh benda berbentuk pipih itu dan menjejernya di atas amben. Ia memisahkan antara wayang Bala Pandawa dan wayang Bala Kurawa. Juga tentara Sugriwa dan pasukan Rahwana.
Tapi hingga wayang-wayang di dalam peti habis, ternyata Kumbakarna tidak diketemukannya.
***
"Tidak mungkin!" Ki Dalang Basuki bicara sendiri. Menepis pikiran konyol yang melintas begitu saja di dalam benaknya.Â
"Tidak mungkin Kumbakarna iseng begitu," ia menelan ludah. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering dan tercekat.
"Tapi...siapa tahu juga, ya. Semua bisa saja terjadi," ia mulai bimbang. Lalu perlahan tangan kurusnya meraih wayang-wayang yang menumpuk di hadapannya. Satu persatu dimasukkannya kembali benda-benda yang terbuat dari kulit sapi pilihan itu ke dalam peti dengan hati-hati.
Sampai jauh malam pria berusia setengah abad itu tidak bisa memejamkan mata. Ia duduk termenung di dekat jendela memikirkan hilangnya wayang Kumbakarna. Kemana dia? Kemana wayang idolanya itu pergi?
Selama berpuluh tahun menggeluti dunia wayang, kejadian semacam ini belum pernah terjadi. Ia belum pernah kehilangan satu wayang pun. Sebab ia termasuk orang yang sangat teliti. Setiap kali usai menggelar pertunjukan bisa dipastikan wayang-wayang yang baru digelar akan ngandang dengan aman di dalam peti.
"Mungkin Bapak lupa. Bisa saja si Kumbakarna terselip di suatu tempat," Halimah memberanikan diri bicara.
"Sebenarnya aku merasa aneh saja, Imah. Kumbakarna ini mestinya masih tertidur selama 6 bulan. Dia tidak akan bangun sekalipun dijugrak dengan berbagai cara," Ki Dalang Basuki menatap Halimah, dalam-dalam.