Tidak terasa. Lebaran sebentar lagi tiba. Tinggal menunggu hari.Â
Bagaimana, apakah sudah berbelanja baju baru? Pasti sudah ya. Kan THR sudah pada cair.
Yup, lebaran memang selalu identik dengan baju baru. Walau sebenarnya tidak diharuskan alias disunahkan. Ingat, disunahkan. Jadi kalau pun kita tidak memakainya itu tidak apa-apa. Tidak akan membuat kita berdosa.
Wah, jadi ingat lagu anak-anak yang pernah populer yang dinyanyikan oleh Dea Ananda. Kalau tidak salah berjudul Baju Baru Alhamdulillah.Â
Saya kutip sedikit liriknya, ya.
Baju baru alhamdulillah
Tuk dipakai di hari raya
Tak ada pun tak apa-apa
Masih ada baju yang lama
Kalau kita simak baik-baik, lirik lagu tersebut intinya mengingatkan sekaligus mengajak kita untuk menerapkan pola hidup sederhana, tidak perlu memaksakan diri. Â Â
Nah, bicara memaksakan diri, bagaimana dengan belanja pakaian baru di jelang lebaran? Tidak bisa dipungkiri dalam masyarakat kita belanja pakaian baru memang sudah menjadi kebiasaan yang tidak bisa dihindari. Kebanyakan masyarakat--termasuk saya kadang sampai harus  ngoyo demi bisa membeli pakaian baru. Ada yang sampai beruhutang sana-sini atau nekat kredit dengan resiko harga berkali lipat.Â
Perilaku memaksakan diri merupakan dampak dari pola pikir kita yang terlanjur salah kaprah, bahwa kurang afdol rasanya jika pada hari raya lebaran tidak mengenakan busana baru. Masa iya, hari raya pakai baju itu-itu juga?
Tampil dengan pakaian baru saat lebaran boleh dibilang sudah menjadi tradisi yang mengakar pinak, yang akhirnya secara tidak sadar telah membentuk perilaku komsumtif pada diri kita. Kita jadi suka menghambur-hamburkan uang dengan dalih ingin merayakan lebaran.
Dan parahnya lagi perilaku konsumtif tersebut semakin didukung oleh  outlet-outlet belanja yang tumbuh semarak dan berlomba-lomba mengiming-imingi diskon secara gila-gilaan. Juga menjamurnya pasar kaget yang siap bersaing banting harga dengan pusat-pusat perbelanjaan lain yang sudah memiliki nama.
Akhirnya mau tidak mau kita telah menjadi korban dari perilaku kita sendiri yang tidak bisa membendung keinginan untuk tidak berbelanja. Â
Saya sendiri berusaha keras untuk menerapkan pola hidup sederhana. Jikalau pun harus berbelanja keperluan lebaran, saya cenderung memilih pusat perbelanjaan yang tidak terlalu elit. Sebab saya tahu diri, saya tetap harus memperhatikan kemampuan dompet saya. Saya tidak ingin sampai terjadi besar pasak dari pada tiang.
Alhamdulillah, sikap sederhana saya ini bisa dimengerti oleh keluarga, khususnya oleh anak-anak. Itulah sebab mereka tidak komplain meski saya hanya mampu membeli pakaian lebaran di tempat perbelanjaan yang biasa-biasa saja. Bahkan saya mendapat dukungan dari anak sulung saya yang lebih paham soal pusat-pusat perbelanjaan di sekitar Kota Malang yang bisa dikondisikan dengan kemampuan dompet emaknya.
Serba 35 Ribu Rupiah? Tak Masalah!
Sore tadi anak sulung membawa saya ke suatu tempat. Tepatnya di daerah Dinoyo Malang. Saya sempat kaget ketika ia mengajak turun memasuki sebuah  outlet busana yang bertuliskan serba 35 ribu. Setengah tidak percaya saya ikut masuk ke pusat perbelanjaan tersebut.Â
Dan...benarlah! Semua pakaian yang dipajang di sana mulai dari kemeja, celana panjang, T-shirt, gamis, jaket dan lain-lain dipatok harga sama rata yakni 35 ribu rupiah.
Wah, saya jadi semangat berbelanja nih.Â
Tapi, ups. Tunggu dulu. Meski begitu saya harus tetap bisa mengontrol emosi. Tidak boleh kalap. Tetap belanja secukupnya sesuai kebutuhan. Tidak perlu berlebihan.
Dan saat kembali masuk ke dalam mobil, saya sempat bergumam, " Serba 35 ribu? Boleh juga. Â Bisa menjadi pilihan spot belanja favorit keluarga untuk lebaran mendatang."
***
Malang, 09 Juni 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H