Tapi sejak saat itu, saya tidak lagi bertegur sapa dengan Ibu tetangga yang saya anggap nyinyir itu. Meski kami sering bertemu atau berpapasan di jalan, saya yang sudah terlanjur dongkol enggan berbicara padanya.
Bagaimana sesungguhnya perasaan saya waktu itu?
Jujur saya merasa sangat tidak nyaman. Sebab pada dasarnya saya memang tidak suka bermusuhan dengan siapa pun. Apalagi dengan tetangga sendiri.
Selang dua bulan kemudian, usai Sholat Terawih pada hari kesekian, tak disangka-sangka, Ibu tetangga itu datang ke rumah dan meminta maaf kepada saya. Tentu saja saya ikhlas memaafkannya dan berbalas minta maaf pula kepadanya.
Anehnya, usai bermaaf-maafan saya merasa lega. Merasa plong tidak terbebani oleh berbagai perasaan tidak nyaman lagi.
Kejadian di atas merupakan salah satu contoh betapa indahnya saling memaafkan. Jika kebetulan kami memilih momen Ramadan sebagai ajang untuk saling bermaafan, barangkali hidayah itu memang datangnya pas di hari itu, di hari yang penuh berkah.
Kejadian lain yang mungkin tidak saya sadari adalah seberapa seringnya saya berselisih paham dengan orang-orang terdekat saya. Semisal dengan anak-anak. Tidak terhitung berapa kali kami tarik ulur selama kurun waktu 11 bulan ke belakang, berbeda pendapat atau secara tidak sengaja telah saling menyinggung perasaan masing-masing.
Maka ketika hari itu tiba, ketika pintu kebaikan dibuka, saling bermaafan adalah hadiah lebaran yang paling berkesan.
Bukankah tidak ada yang lebih indah dan membahagiakan selain menyaksikan anak-anak, keluarga dan orang-orang tercinta di sekeliling kita saling berpeluk dan saling memaafkan dengan penuh ketulusan?
Selamat menyongsong datangnya hari lebaran. Semoga ibadah puasa kita diterima Allah Swt. Amin ya Rabbal alamin.
***