Ketika mengetahui pasangan kita--suami atau istri melakukan kesalahan paling fatal, yakni berselingkuh, sudah pasti rasa marah, kecewa, sedih, terluka, bahkan putus asa akan menguasai sepenuh hati kita.
Itu wajar. Dan sangat manusiawi.
Siapa juga yang tidak marah mengetahui cintanya dikhianati? Siapa pula yang tidak kecewa saat kepercayaan yang diberikan disalahgunakan?
Pada sebagian orang, termasuk saya, dalam keadaan sedih dan terluka, hati berkali-kali lantang menegaskan, "Duhai, penghianat cinta. Tidak ada lagi pintu maaf terbuka bagimu. Hari ini, esok, lusa dan selamanya!"
Tapi benarkah begitu? Benarkah seseorang yang telah melakukan kesalahan terhadap diri kita tidak pantas beroleh maaf, walau seujung kuku?
Mari kita menoleh sejenak ke belakang. Kembali kepada komitmen awal sebuah pernikahan.Â
Bukankah sejak awal kita sendiri yang memilih jodoh kita? Kita sudah begitu yakin, bahwa pilihan kita adalah yang terbaik di antara semua pilihan. Untuk itulah kita lantas berani memutuskan, bersedia menjalani hidup bersama dalam satu ikatan pernikahan yang suci. Lalu saling mengikat janji--walau janji tidak harus selalu diucapkan.
Masih hangat menyentuh nurani kita. Saat mata saling berpagut pandang, mengungkapkan indahnya perasaan untuk saling mencintai, menyayangi, setia, seia sekata, dan akan senantiasa mendampingi dalam keadaan suka maupun duka.Â
Sampai badai bernama selingkuh itu datang memporakporandakan semua.
Lantas haruskah kita menyerah begitu saja? Membiarkan badai menghabisi, melumat dan meluluhlantakkan mahligai yang susah payah telah dibina selama bertahun-tahun?
Bagi hati yang benar-benar mencintai, badai adalah ujian. Badai adalah tantangan untuk semakin mengokohkan dan menguatkan.Â