Ya, ini tidak main-main. Aku menantangmu, Desol! Terlalu lama kau bersembunyi. Adakah belatimu telah tumpul? Ataukah gelar ratu kematian yang kausandang sudah tidak sakti lagi?
Sekali lagi. Aku menantangmu, Desol! Asah kembali mata pisaumu. Hadapi aku. Kita bertarung satu lawan satu. Jika aku kalah, aku relakan kepalaku tergantung di kisi-kisi langit kamarmu.
Atau, jika kau belum puas menikmati kemenangan, rajam saja tubuh dan hatiku. Jadikan serpihnya kudapan untuk menjamu para mantan yang mengaku masih menaruh rindu dendam padamu.
Tapi sebaliknya, jika kau kalah, maka bersiap-siaplah. Kan kusayat tipis-tipis tubuh mungilmu. Kurajang halus jemari lentikmu, lalu kumasukkan ke dalam belanga besar yang di dalamnya tlah kujerang air dari tujuh samudera, bunga tujuh rupa dan mantra-mantra pemikat sukma.
Ayolah, Desol! Jangan ragu lagi. Hadapi aku. Siapkan cawan emas yang lama kausingkirkan. Reguk lelehan kental darah anyirku. Nyalakan lilin di meja altar sebagai persembahan tuk dewa Akhlis, dewa berjubah kematian.
Desol. Terlalu lama tidak bermain darah menjadikanmu seperti putri tidur. Tidak. Aku tidak suka itu. Kau harus segera bangun. Usah berdalih menunggu ciuman maut dari sang pangeran.
Ayolah, Desol! Kutunggu kau di sini, di tepi kawah imajinasi. Di bawah naung purnama ketiga belas siapkan kata tuk saling melibas.
***
Cc : Desy Desol, kutunggu segera jawabanmu!
Malang, 10 Mei 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H