Beberapa hari ini jagad medsos kembali bergonjang-ganjing. Riuh rendah membicarakan sosok Sukmawati, salah satu putri Bung Karno yang berkecimpung di dunia seni dan budaya. Saya sendiri sebenarnya tidak begitu ngeh kalau saja tidak melihat dan membaca banyaknya status bersliweran di laman saya (baik di FB maupun di grup WA) yang getol membahas tentang perempuan paruh baya tersebut.Â
Ada apa gerangan?Â
Puisi. Begitu slentingan yang sempat saya dengar. Akibat santernya pemberitaan mau tidak mau saya ikut menjadi kepo. Dan demi memenuhi hasrat kekepoan saya yang tak terkendali, saya pun segera menghubungi Kangmas saya untuk bertanya ini itu sehubungan dengan ketidaktahuan saya. Selanjutnya saya meminta beliau agar mengirimkan link berita-berita yang memuat puisi---yang katanya menimbulkan kontroversi. Dan Kangmas saya yang baik hati itu merespon permintaan saya dengan tidak hanya mengirimi satu link, melainkan berpuluh-puluh  link. Hadeuh....
Karena pada dasarnya saya suka membaca, maka saya lahap habis semua link yang terkirim termasuk larik puisi yang menghebohkan itu. Saya tidak memungkiri bahwa puisi yang digubah oleh putri Bung Karno tersebut sungguh sangat bagus . Diksinya indah. Dan isinya sarat akan makna.
Sampai kemudian mata saya tertuju pada satu kata. Azan.
 Ah, andai saja...
Ya, andai saja.
Saya buru-buru menepis segala pengandaian yang terbersit di dalam benak saya. Saya tidak ingin ikut larut dalam berdebatan publik yang sepertinya dibiarkan (dipaksa?) berlarut-larut. Saya lantas mengalihkan perhatian, lebih memilih memberi apresiasi terhadap kebesaran jiwa seorang Sukmawati, Ibu Indonesia yang telah menyampaikan permintaan maaf dengan berurai airmata usai pembacaan puisinya yang dianggap telah menyinggung Umat Islam tersebut.
Berita Sukmawati minta maaf ada di sini  https://nasional.tempo.co/read/1076279/sambil-menangis-sukmawati-soekarnoputri-minta-maaf-atas-puisinya
Lantas hikmah apa yang bisa diambil dari kisah bertajuk 'tersandung puisi' ini?Â
Jika diizinkan, saya ingin bicara dengan diri saya sendiri. Dalam hidup ini setiap orang tidak luput dari kesalahan. Setiap manusia pernah berbuat kekhilafan. Setiap pribadi pernah tergelincir baik secara sengaja maupun tidak. Tidak ada satu pun manusia yang sempurna. No  body  perfect.
Namun demikian, senyampang orang yang telah berbuat kesalahan tersebut gegas menyadari kesalahannya, kemudian berjanji sepenuh hati untuk tidak melakukannya lagi, alangkah naifnya jika kita lantas menutup mata dan hati, menasbihkan kalimat 'tiada maaf bagimu' atau yang lebih miris lagi menabuh genderang untuk beramai-ramai menghujat dan mem-bully  si empunya salah.
Ah, saya jadi teringat satu hadist bagus ini.
"Jika kamu membuat suatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan suatu kesalahan orang lain, maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa." (HR. Bukhari)
Selamat siang, kawan.
Tulisan ini hanya sekadar perenungan di hari Kamis penuh berkah.
Salam Indonesia damai.
***
Malang, 05 April 2018
Lilik Fatimah AzzahraÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H