Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kubunuh Ibu karena Tidak Mendongeng Lagi Untukku

3 April 2018   12:06 Diperbarui: 3 April 2018   14:56 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Parents.com

Kau pasti tidak percaya jika kukatakan aku baru saja membunuh Ibuku. Kupotong-potong ruas jarinya. Kumasukkan potongan jari-jari itu ke dalam kantung plastik bekas pembungkus permen dan kusimpan di bawah bantalku. 

Kemudian aku meniduri bantal itu, berusaha memejamkan mata di atasnya. Aku berharap jemari tangan Ibu yang masih mengucurkan darah membelai kepalaku. Membantuku menghitung waktu hingga aku terbuai mimpi.

Kau juga pasti tidak percaya jika kuberitahu alasan mengapa aku tega membunuh Ibuku. Alasan yang tentu saja menurutmu terlalu mengada-ada. Ya, aku membunuh Ibu hanya karena ia tidak mau lagi mendongeng untukku. Ibu lebih suka menitipkan aku pada layar ponsel yang kadang membuat kedua mataku sakit dan otakku lelah. 

Oh, kau masih belum juga percaya? Bagaimana bisa anak seusiaku membunuh orang dewasa seperti Ibu? Sini kuberitahu padamu cara gampang apa yang sudah kulakukan untuk menghabisi Ibu.

 Mula-mula kunyalakan ponsel pemberian Ibu. Ponsel yang setia menemani sejak aku Balita. Lalu kubuka laman media  online  yang tersedia. Kemudian aku menuliskan huruf-huruf acak sesukaku, sesuai apa yang ada di dalam pikiranku. Ajaib! Huruf-huruf itu terangkai menjadi satu kalimat ; Cara Mudah Membunuh Ibu. 

Kau pasti akan menertawaiku dan berkata, "Tidak mungkin tersedia link semacam itu!" Ah, kau salah! Link-link Cara Membunuh Ibu ternyata ada. Bermunculan. Banyak sekali seperti jamur kuping di musim hujan. 

Entah siapa yang menitipkan link-link itu di sana. Barangkali anak-anak yang kesepian sepertiku, yang sudah berpengalaman dan sukses membunuh ibu-ibu mereka.

Kau lantas bertanya, "Lalu link mana yang kau pilih?" Kuberitahu satu rahasia padamu. Aku memilih link  paling utama, link yang tertangkap pertama kali oleh  mataku. 

"Belum tidur, Kaesang? Ingat, besok harus sekolah. Beberapa hari ini kau selalu terlambat bangun," itu suara Ibu, sesaat sebelum ia mati terbunuh olehku.

"Tidakkah malam ini Ibu ingin mendongeng satu dua kisah? Dongeng apa saja. Semisal Tiga Babi Kecil, Kucing Bersepatu Laras, atau Jack dan Pohon Kacang. Ibu sudah lama tidak melakukannya."

"Kau bisa  browsing  sendiri, bukan? Kau bisa menelusuri laman-laman. Mencari link-link dongeng di dunia maya. Kau tidak akan kehabisan dongeng-dongeng itu sepanjang waktu, seberapa kau mau."

"Tapi aku ingin Ibu yang mendongeng untukku. Bukan ponsel itu."

Ibu tidak menyahut---lebih tepatnya tidak peduli. Ia segera mematikan lampu sebelum kemudian menutup pintu dan meninggalkan kamar tidurku.

Kau pasti tidak suka caraku memperlakukan Ibu. Hanya gara-gara Ibu tidak mau mendongeng lantas aku tega memotong-motong jari tangannya, memasukkannya ke dalam kantung plastik bekas pembungkus permen dan menyimpannya di bawah bantal. 

Aku yakin kau pasti sudah membenciku. Sangat membenciku.

Pagi sudah merekah. Sudah saatnya aku membuka mata. Aku meraba bawah bantalku. Mencari-cari jemari Ibu.

"Masih belum beranjak, Kaesang?" kudengar suara Ibu. Mengagetkanku.

"Ibu belum mati?" aku mengucek kedua mataku.

"Tentu saja belum. Ibu tidak mau mati hanya gara-gara tidak mau mendongeng lagi untukmu," Ibu tertawa seraya membelai kepalaku dengan jari-jarinya yang masih utuh. Aku melirik ke arah jari-jari lentik itu. Sama sekali tidak terlihat bekas luka atau bercak darah di sana.

"Darimana Ibu tahu aku akan membunuh Ibu?" aku tersipu malu.

"Dari curhatan yang kau tulis di memo ponselmu. Semalam tanpa sengaja Ibu membacanya saat hendak mematikan ponselmu yang masih menyala," Ibu duduk di tepi ranjangku. "Maafkan Ibu Kaesang. Ibu memang sudah lama tidak mendongeng untukmu. Tapi Ibu janji, mulai malam nanti Ibu akan melakukannya lagi."

Kau pasti tidak percaya jika kukatakan ini padamu. Sampai detik ini Ibu masih setia mendongeng untukku. Ibu tidak pernah kehabisan kisah. Ibu mendongeng apa saja. Tidak sebatas dongeng Tiga Babi Kecil atau Kucing Bersepatu Laras.

Dan kukira karena rutin mendongeng untukku, membuat Ibu tidak pernah terlihat tua di mataku. Ibu tampak selalu cantik dan awet muda walau usianya sudah melewati batas senja.

Jadi kuingatkan padamu. Katakan ini pada Ibumu. Jika ia ingin panjang usia seperti Ibuku, mendongenglah barang sejenak. Sisihkan waktu bersamamu. Jangan biarkan  gadget  merampas kasih sayangnya darimu.  

***

Malang, 03 April 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun