Kaki kami terus melangkah hingga di penghujung lorong di mana lokomotif  kereta api biasa diistirahatkan. Kami berhenti sejenak di sana. Duduk-duduk di atas rel sembari menatap bulan yang termenung.
"Kok sampai sejauh ini kita belum menemukan Bapak, ya?" Rash menggerak-gerakkan ujung kakinya.
"Seekor tikus memang lincah bersembunyi. Kau ingat ketika kita mengejar tikus di dalam rumah?" aku menanggapi.
"Iya. Tikus itu menghilang di bawah kolong rak piring di dapur. Mungkin ia masuk ke dalam gorong-gorong air," Rash masih menggerak-gerakkan ujung kakinya. Tapi kemudian ia berdiri. Kepalanya meneleng sedikit ke arah salah satu kolong lokomotif.
"Kukira aku baru saja melihat Bapak!" Rash berseru lantang seraya berdiri.
"Kau melihat seekor tikus?" aku ikut berdiri. Rash mengangguk
"Benar! Tikus itu besar sekali. Di bawah sana. Aku juga sempat melihat  buntut-nya. Sangat panjang!" Rash menunjuk ke arah bawah lokomotif.
"Mungkin ia memang Bapak kita," aku bergumam seraya menyentuh pundak adikku. Rash terdiam.
Beberapa saat lamanya kami sama-sama terdiam.
Lalu tiba-tiba saja, tanpa bisa kucegah, Rash berlari menuju salah satu lokomotif  yang berada di sebelah kiri. Ia berjongkok, memasukkan kepalanya ke dalam kolong lokomotif itu sambil berteriak-teriak heboh. "Kemarilah! Aku sedang melihat Bapak!"
Aku terpaksa berjalan menghampirinya.