Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Daliman Bosan Menjadi Kaya

28 Maret 2018   09:32 Diperbarui: 29 Maret 2018   17:52 1222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (dreamstime.com)

Daliman orang terkaya di desanya, itu benar. Bukan gosip. Dan bahwa Daliman kaya raya sejak kecil, itu juga benar. Bahkan mungkin sejak ia belum dilahirkan. Kakeknya mantan kepala desa yang memiliki berhektar-hektar tanah. Dari puncak gunung hingga lereng lembah, semua diklaim menjadi milik kakeknya. Tanah bengkok istilahnya. Dan tanah-tanah itu ditumbuhi beraneka ragam tanaman menghasilkan. Mulai dari Pohon Jati hingga Buah Naga yang sekarang sedang musim.

Tapi akhir-akhir ini Daliman sering merasa gundah. Sering bertanya-tanya dalam hati. Mengapa kekayaannya terus saja melimpah ruah seolah tidak akan habis hingga tujuh turunan?

Tujuh turunan? Bagaimana bisa ia berpikiran begitu. Sedang sampai saat ini---sampai usianya menginjak empat puluh tahun, Daliman masih sendiri. Masih juga betah hidup melajang. Belum memiliki hasrat untuk menikah. Selain itu ia terlahir sebagai anak tunggal. Kedua orang tuanya, termasuk kakeknya, beberapa tahun silam sudah mendahului menghadap yang kuasa.

Ironis memang. Laki-laki kaya raya, tidak kurang sesuatu apa, masih juga hidup sendiri. Konon sanak kerabat, baik yang berasal dari garis ibu atau bapaknya, tetangga kanan kiri, juga teman-teman dekatnya sudah berkali mengingatkannya agar ia segera mencari sosok pendamping.

"Apa enaknya hidup membujang, Dal? Cepat sana cari istri. Supaya ada yang mengatur-atur hidupmu," Kang Roji, tetangga sebelah rumah yang sering menemaninya  jagongan  kembali mengingatkannya. Bukan hanya sekali dua laki-laki yang memiliki banyak anak itu berkata seperti itu. Berkali-kali mungkin. Tapi Daliman tetap saja bergeming. Seolah ia tidak tertarik pada mahluk bernama perempuan.

"Jangan-jangan kau memiliki kelainan, Dal!" Kang Roji menyelutuk. Daliman hanya tertawa. Sudah sering ia mendengar celutukan seperti itu. Tapi ia sama sekali tidak marah. Telinganya sudah kebal.

"Aku laki-laki normal, Kang. Hanya saja, mencari istri tidak semudah membalik telapak tangan," Daliman menjawab asal.

"Kalau kau kesulitan mencari jodoh, aku bisa membantumu. Oh, tapi itu mustahil. Kau ini kan orang kaya, Dal. Tinggal tunjuk jari mau pilih berapa perempuan, model apa, itu mah soal gampang."

Ya, Kang Roji benar. Kalau Daliman mau, ia tinggal tunjuk jari. Banyak perempuan menawarkan diri padanya. Tapi bukan itu masalahnya. Benar-benar bukan itu.

Daliman hanya bosan menjadi orang kaya. Itu saja. Ia bosan melihat orang-orang mengangguk hormat padanya. Ia bosan mendengar pujian -pujian berhamburan. Ia bosan melihat para penjilat mengagung-agungkan namanya.

"Pak Daliman, kami datang melamar Anda untuk menjadi ketua di partai kami," serombongan orang berdasi, suatu sore datang berkunjung menemuinya. Menghadapi orang-orang semacam ini, biasanya Daliman akan melemparkan pertanyaan yang agak menohok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun