Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Wayang Pagi | Persembahan Jari Bambang Ekalaya

13 Maret 2018   07:28 Diperbarui: 13 Maret 2018   08:54 1319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikisahkan, suatu ketika Guru Durna sedang memberi pelajaran memanah kepada para muridnya, Pandawa dan Kurawa. Dari jauh seorang pemuda dari golongan kasta rendah bernama Bambang Ekalaya tengah mengawasi mereka. Pemuda itu takjub akan kehebatan sang Guru Durna. Ia ingin sekali belajar memanah kepadanya. Tetapi ia paham. Tidak mungkin Guru Durna berkenan menerimanya sebagai murid. Karena selama ini sudah menjadi rahasia umum, sang Resi hanya mau mengajar siswa dari golongan kasta bangsawan.

Bambang Ekalaya akhirnya hanya bisa mundur teratur. Menatap semuanya dari kejauhan. Dan juga terpaksa menyimpan keinginannya dalam hati.

Akan halnya Guru Durna, dalam membimbing anak didiknya, ia adalah seorang pengajar yang pilih kasih. Suka membeda-bedakan. Saat itu ia cenderung menganakemaskan Arjuna ketimbang terhadap murid-muridnya yang lain. 

Mengapa Guru Durna berlaku demikian? Tak lain dan dan tak bukan karena Arjuna adalah sosok pemuda cerdas, yang cepat tanggap menyerap ilmu yang diajarkan.

Saking sayangnya terhadap Arjuna, Guru Durna tak segan mewariskan panah Sangkali, pusaka sakti yang dimiliknya. Ia berharap Arjuna menjadi satu-satunya ksatria dari Kurusetra yang tidak terkalahkan. Yang kelak bisa diandalkan saat terjun ke kancah peperangan.

Tentu saja perlakuan pilih kasih sang guru sedikit banyak membuat Arjuna tumbuh menjadi pemuda manja dan agak besar kepala.

Sementara nun jauh di sana, Bambang Ekalaya, sekalipun tidak bisa menjadi murid Guru Durna, ia tidak putus harapan. Pemuda itu tetap belajar memanah dengan caranya sendiri.

Untuk memacu semangatnya, Bambang Ekalaya menciptakan patung yang serupa dengan sosok guru idolanya. Dan patung itu selalu dibawanya ke mana pun ia pergi. Juga diletakkan tak jauh darinya saat ia sedang berlatih memanah.

Karena kegigihannya itu, Bambang Ekalaya berhasil menjadi seorang pemanah ulung. Kemahirannya bahkan sepadan dengan Arjuna.

Suatu hari ketika Bambang Ekalaya sedang berlatih memanah di tepi hutan, melintas seekor anjing yang tiba-tiba hendak menyerangnya. Serta merta Bambang Ekalaya melesatkan anak panah di tangannya. Ia melepas sebanyak tujuh buah anak panah. Dan semua anak panah itu tepat menancap pada mulut sang anjing tanpa satu pun yang meleset dari sasaran.

Kejadian tersebut diketahui oleh Guru Durna dan para muridnya. Termasuk Arjuna. Mereka kebetulan sedang melintas di sekitar hutan. 

Maka bertanyalah sang Guru Durna kepada pemuda sederhana itu.

"Darimana kau belajar ilmu menanah semahir itu?"

"Saya belajar sendiri, Resi. Ditemani oleh guru ciptaan saya," Bambang Ekalaya menunjuk sebuah patung semirip Guru Durna yang berada tidak jauh darinya.

Guru Durna tertegun. Sesaat kekaguman menjalari hatinya. Tapi kemudian berganti rasa was-was. Khawatir pemuda di hadapannya itu bisa menjadi saingan berat murid kesayangannya, Arjuna.

"Sekiranya diperkenankan, saya ingin beradu keterampilan dengan Kangmas Arjuna. Saya hanya ingin tahu dan menguji sejauh mana ilmu yang sudah saya pelajari," Bambang Ekalaya tiba-tiba berkata. Ia mengatupkan kedua tangannya dengan penuh hormat. 

Guru Durna nyaris menolak permintaan itu. Tapi Arjuna buru-buru menimpali, "Aku terima tantanganmu!"

Sebagai guru yang amat mengasihi muridnya, Guru Durna terpaksa mengikuti kemauan Arjuna. Maka dilepaskannya seekor burung kecil sebagai sasaran lomba memanah antara keduanya. 

Dan sungguh mengagetkan. Beberapa kali Bambang Ekalaya mampu mengalahkan Arjuna dengan mudah. Anak panah yang dilepaskannya selalu melesat lebih dulu dan lebih tepat mengenai titik sasaran secara sempurna.

Tentu saja hal tersebut membuat Guru Durna amat kecewa. Apalagi dilihatnya Arjuna mulai bermuka masam menahan geram dan malu. 

 "Guru, lakukan sesuatu," setengah berbisik Arjuna merajuk.

Demi menyenangkan hati murid kesayangan, Guru Durna pun sibuk mencari akal. Ia berpikir keras bagaimana agar bisa mencegahBambang Ekalaya memenangkan pertarungan.

"Karena kau sudah menduplikat diriku dalam bentuk patung, maka secara tidak langsung kau sudah menjadi muridku. Dan selayak seorang guru yang telah menurunkan ilmunya, kau wajib memberiku upah," Guru Durna berkata serius kepada Bambang Ekalaya yang siap-siap melesatkan anak panah terakhir. 

"Upah apa yang mesti saya haturkan guru?" dengan wajah polos dan penuh rasa hormat Bambang Ekalaya bertanya.

"Potong satu jari tanganmu. Hanya itu satu-satunya upah yang setimpal yang patut kuterima."

Bambang Ekalaya, pemuda lugu yang sangat mengidolakan sang Guru Durna---yang di dalam hatinya hanya ada kebaikan-kebaikan tanpa syak wasangka, dengan suka rela segera meluluskan perintah itu. Dipenggalnya satu jemari tangannya tanpa ragu-ragu. 

Dengan jemari tidak lengkap tentu saja Bambang Ekalaya kalah beradu lomba menghadapi Arjuna. Ia tak lagi leluasa memegang busur anak panahnya.

Guru Durna menarik napas lega saat menyaksikan Arjuna akhirnya bisa keluar sebagai pemenang.

Lantas bagaimana dengan perasaan Arjuna sendiri? Puaskah ia meraih kemenangan dengan cara licik seperti itu?

Ternyata tidak. Dalam hati kecil Arjuna menyesali tindakan gurunya. Ia merasa sangat bersalah telah membuat Bambang Ekalaya memotong jemari tangannya. 

"Guru, sebenarnya pemenang sejati itu bukan aku. Tapi Bambang Ekalaya. Ia telah bertarung selayak seorang ksatria," Arjuna berkata bersungguh-sungguh seraya memungut potongan jemari Bambang Ekalaya yang tercecer di atas tanah. 

Dan, ups! Potongan jemari itu mendadak melompat. Menempel lekat pada kelingking tangan kiri Arjuna. 

"Guru...!!!" Arjuna berseru panik. Ia berusaha menyembunyikan jemari kirinya yang kini berjumlah enam.

***

Malang, 13 Maret 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun