Ayah benar-benar menghentikan mobilnya. Ikut mematuhi rambu lalu lintas seperti pengguna jalan yang lain.
"Oh, ya? Ketidakadilan yang mana yang kau maksud?" kali ini Ayah menyempatkan diri menoleh ke arahku.
"Ibu terlalu memanjakan Ayah. Dan Ayah---menikmatinya."
"Oh, apakah salah satunya tentang memasang tali sepatu itu?" Ayah menegaskan. Aku mengangguk.
Ayah tersenyum. Aku lega melihatnya. Kukira Ayah sudah mengerti apa yang kumaksudkan.Â
"Baiklah. Mulai besok aku akan melarang Ibumu melakukan hal-hal yang bisa kukerjakan sendiri."
***
Esoknya aku melihat Ayah benar-benar menepati janjinya. Ia menolak dengan halus ketika tangan Ibu terulur siap mengikatkan tali sepatunya. Begitu juga ketika Ibu bermaksud membantunya memasangkan dasi.
"Terima kasih, sayang. Tapi aku bisa melakukannya sendiri," tangan Ayah menampik jemari Ibu. Ibu tampak tertegun. Lalu ia berkata gugup, "Oh, iya, tentu saja, aku tahu."Â
Pagi itu banyak sekali kutemukan perubahan. Ayah yang semula manja dan cenderung kekanak-kanakan, berubah menjadi laki-laki mandiri. Ayah menyenduk sendiri nasi dari dalam  magic com  ke atas piring sarapannya. Lalu sigap menuang kopi ke dalam cangkirnya. Ia juga meraih kunci mobil yang tercantel di tembok kamar tanpa menunggu Ibu yang mengambilkannya.Â
Aku kagum. Ayah telah berhasil mengurus dan melayani dirinya sendiri dengan baik.