Mendengar kalimat terakhir Bunga, saya membatin. Iya, ya. Kok bisa terjadi demikian. Apa sebenarnya yang mereka cari? Saya menyebut "mereka" yang berarti dua orang atau lebih. Karena tidak adil rasanya jika saya ikut-ikutan menjudge satu orang saja, yakni pihak perempuan yang dianggap paling patut dipersalahkan.
Masih merujuk ke kata "mereka" yang maknanya kian melebar. Mereka bisa berarti suami atau istri itu sendiri. Tidak menutup kemungkinan ruang lingkup keluarga yang tidak kondusif, rasa kebersamaan yang hilang, kesetiaan yang kikis, atau krisis kepercayaan terhadap pasangan adalah awal berseminya bibit-bibit perselingkuhan.
Memang, menyoal kasus perselingkuhan ibaratnya kita terjebak dalam pusaran setan. Tidak akan dijumpai titik temu selagi persoalan direntang dengan mengandalkan emosi. Bukan instropeksi.Â
Maka ketika Bunga pamit pulang dengan membawa luka memar di hatinya, hal yang bisa saya lakukan sebagai sesama perempuan adalah: saya ikut prihatin. Saya turut mendoakan agar ia tetap menjadi istri yang  tegar, ibu yang sabar, dan segera menemukan solusi terbaik dalam menghadapi kemelut rumah tangganya. Yang tentu saja sedapat mungkin kemelut tersebut diselesaikan secara elegan. Tidak saling mengumbar aib di muka umum. Apalagi sampai diumbar di dunia medsos.
Lantas bagaimana dengan judul artikel di atas?
Oh, yang  Saya  Ingin  Jadi  Pelakor itu? Tidak, ah. Saya tidak akan pernah  melakukannya.
Alasannya?
Sst, nganu, jangan bilang siapa-siapa ya. Saya ini pernah dipelakorin. Dan ternyata itu berat....
***
 Malang, 26 Februari 2018
Lilik Fatimah Azzahra