Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jadi Pelakor Itu Berat, Sayang

21 Februari 2018   18:06 Diperbarui: 21 Februari 2018   18:36 3004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : cristinafaleroni.blogspot

Melati menatap langit-langit rumah kontrakan yang ditempatinya. Kotor dan berdebu. Sebagian asbes digelayuti sarang laba-laba.

Ia mendesah. Sudah berapa lama tidak membersihkan rumah ini? Pikirannya mulai sibuk menghitung. Kalau tidak salah sejak Prastowo membawanya ke sini. Dua bulan lalu.

 Menjadi perempuan lain dari pria beristri sebenarnya  membuat hati Melati kian menjauh dari kata tenang. Meski semua berjalan baik-baik saja---dalam artian belum terendus oleh istri sah Prastowo, toh perasaan bersalah tetap tidak berhasil dihalau pergi. Ia merasa sudah bertindak sangat bodoh, tidak manusiawi. Yakni menyakiti hati perempuan lain.

Selain rasa bersalah yang berkepanjangan, hari-harinya juga diliputi rasa was-was. Bagaimana jika hubungan terlarang antara ia dan Prastowo suatu hari terbongkar? Apakah ia mampu menghadapinya?

Kekhawatiran itu akhirnya benar-benar menjadi kenyataan. Suatu petang seorang perempuan bernama Hartati yang mengaku sebagai istri sah Prastowo datang melabraknya, mendampratnya habis-habisan, melemparinya dengan berbagai macam hujatan.

Menanggapi perempuan yang sedang kalap seperti itu, Melati hanya bisa termangu. Diam seperti patung. Sama sekali tidak berkeinginan mengadakan perlawanan. Meski kalau mau, ya, kalau mau---ia bisa saja membalas caci maki yang dilontarkan oleh istri Prastowo itu dengan mengatakan, "Suamimu yang memulainya. Ia yang menggodaku lebih dulu. Suamimu yang mengejar-ngejar aku, atau..."

Tapi, ah, sudahlah. Percuma membela diri dengan mengatakan hal-hal semacam itu. Toh tidak akan banyak menolong. Bagaimanapun juga ia tetap dianggap perempuan perusak rumah tangga orang.

Bukankah pihak perempuan dalam kasus selingkuh menyelingkuh selalu dianggap pihak yang paling patut dipersalahkan?

Melati bergeming, membiarkan istri Prastowo melampiaskan kegeraman hatinya. Meluapkan amunisi kemarahannya. Bahkan ketika perempuan itu menjambak rambut dan menampar pipinya berulang-ulang, ia tetap terpaku diam.

Sekali lagi, kalau mau---ia bisa saja membalas serangan bertubi-tubi perempuan itu.

Tapi sekali lagi ia tidak berminat melakukannya. Ia sudah memutuskan untuk diam menerima segala bentuk perlakuan apa pun sebagai upaya menebus rasa bersalah yang selama ini disimpan dalam-dalam di dalam hatinya.

Untunglah tak lama berselang Prastowo muncul. Pria itu bergegas menenangkan istrinya lalu membawanya pergi menjauh dari hadapan Melati.

Melati menatap kepergian suami istri itu dengan pandang sayu. Setelah menutup pintu depan, ia berjalan lunglai menuju kamar. Melati merasakan tidak saja sekujur tubuhnya yang lelah, tapi juga jiwanya. 

Ternyata menjadi pelakor itu berat. Tidak semua orang kuat. Termasuk dirinya. Ia membatin.

Berpikir demikian Melati memutuskan untuk segera mengakhiri semuanya. Ia tahu, dirinya-lah yang mesti memulai mengambil langkah. Tidak harus menunggu Prastowo. Sebab jika ia menyampaikan niatnya kepada Prastowo, pria itu jelas tidak bakal menyetujui. 

Melati meraih kopor di bawah kolong tempat tidur. Sebentar kemudian ia sibuk memindahkan beberapa barang dan pakaian ke dalamnya. Setelah kopor penuh ia mengusungnya ke teras depan, mengunci pintu dan memencet angka-angka pada ponsel untuk menghubungi taksi.

Sekitar sepuluh menit taksi datang menjemput. Sopir taksi tampak kebingungan saat Melati mengatakan alamat yang ditujunya. Beberapa kali sopir itu menegaskan, "Anda yakin mau diantar ke alamat tersebut Nyonya?"

Melati mengangguk. Melalui kaca spion sopir taksi mencuri pandang ke arah Melati. Tapi kemudian sopir itu memutuskan untuk menghidupkan mesin kendaraannya dan melaju dengan kecepatan tinggi mengantar Melati menuju suatu tempat.

Taksi berhenti di tikungan jalan. Melati turun, melangkah tertatih menyeret kopornya. Sopir taksi tak sempat memperhatilkannya. Ia buru-buru meninggalkan tempat. Sebab ponselnya ribut berdering. Ada penumpang lain yang sudah menunggunya.

Melati memasuki gang sempit, gelap tanpa penerangan. Ia terus saja berjalan dan baru berhenti ketika kakinya menginjak tanah becek bekas hujan seharian. Tanah itu ditumbuhi rumput liar. 

Melati berdiri sejenak di sana. Meletakkan kopornya begitu saja

"Dasar suami tidak tahu diri! Sudah jadi bangkai masih juga berselingkuh!" lamat-lamat telinganya mendengar suara perempuan mengomel. Dari dalam tanah.

Melati tertegun. Dan ia semakin tertegun ketika menatap tiga batu nisan yang berjejer rapi di hadapannya. 

Nisan paling kanan tertulis nama Prastowo. Nisan yang tengah tertera nama Hartati. Dan nisan paling kiri membuat kakinya mundur beberapa langkah. 

Melati. Wafat 21 Desember 2017. 

***

Malang, 21 Februari 2018

Lilik Fatimah Azzahra
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun