Pagi ini tiba-tiba saja aku merasa menjelma menjadi Milea. Berjalan melenggang di pintu gerbang sekolah, memakai seragam putih abu-abu dan berharap bertemu seseorang yang romantis menyapaku.
Memang sih, ada seseorang yang datang menghampiri. Dengan langkah terburu. Tapi bukan Dilan. Hanya seorang tukang kebun yang sudah sepuh. Namanya Pak Darim.
"Kamu Milea, ya?" meski pertanyaan yang dilontarkannya sama, tapi nada suaranya berbeda. Suara Pak Darim serak-serak basah, agak terbata-bata pula. Sedang suara Dilan, tahu kan? Empuk-empuk manja.
"Apakah aku sudah pantas menjadi Milea?" tanpa sadar aku bergumam. Pak Darim yang menuntun sepeda tuanya di sampingku menyahut, "Milea yang lebih pantas menjadi kamu."
Masih berimajinasi menjadi sosok Milea, aku melanjutkan langkah menuju kantin.
Lagi-lagi aku berharap ada seseorang yang menghampiriku dan berkata,"Aku ramal, nanti kita akan bertemu di kantin."
Memang, di pintu kantin aku berpapasan dengan seseorang. Tapi sekali lagi bukan Dilan. Melainkan orang itu lagi. Pak Darim.
"Masih merasa menjadi Milea?" Pak Darim terkekeh melihat ekspresiku yang cemberut. Apalagi ketika aku membuang pandang ke kejauhan dan mengibaskan rambut tipisku ke belakang, ia terlihat semakin senang menggodaku.
"Milea rambutnya bagus. Tidak kusut dan ketombean seperti rambutmu," ia terkekeh lagi sampai terbatuk-batuk. Aku semakin mengerucutkan bibir hingga maju beberapa senti ke depan.
Suasana kantin masih sepi. Hari masih terlalu pagi. Belum terlihat seorang pun siswa berseragam putih abu-abu muncul.
Aku duduk bersedeku lengan di pojok ruangan. Menatap piring-piring kosong yang sudah tertata rapi di atas meja.