Sepulang kerja, Mas Prayit berjalan tergopoh menemuiku.
"Sebentar lagi akan terjadi gerhana bulan, Ris. Jadi tolong kau ikuti nasehatku ini. Jangan menampakkan diri. Bersembunyilah di bawah kolong tempat tidur."
"Loh, Mas? Bukankah tempat tidur kita tidak berkolong?"
"Oh, iya. Kau bisa menggantinya dengan kolong meja. Ayolah, Ris. Jangan menyanggah perintah ini," Mas Prayit menggerak-gerakkan ujung jemarinya.
"Siapa yang memberitahumu mengenai hal aneh itu Mas?" aku menatap suamiku heran. Sekaligus geli.
Mas Prayit buru-buru menutup pintu rumah. Tirai jendela juga tak luput dari jangkauan tangannya.
"Teman-teman di pabrik, Ris. Mereka mengingatkan tentang pantangan-pantangan bagi ibu hamil selama terjadi gerhana bulan," Mas Prayit menggamit lenganku. Membawaku masuk ke ruang tengah.
Sebenarnya ini bukan hal baru bagiku. Aku sudah pernah mendengar mitos semacam ini sebelumnya. Beberapa tahun lalu, aku mendengar Simbah Putri uring-uringan saat melihat Bibi Lastri, adik bungsu Ibuku yang sedang hamil tua berdiri di halaman ikut menyaksikan gerhana bulan.
"Jangan menampakkan diri, Tri. Batara Kala sedang berkeliaran mencari mangsa," Simbah Putri mendorong tubuh Bibi Lastri agar masuk kembali ke dalam rumah. Waktu itu aku sempat terheran-heran. Apa hubungannya gerhana bulan dengan perempuan hamil? Dan siapa pula mahluk yang disebut Batara Kala itu?
Sekarang, Mas Prayit, suamiku  juga mempercayai mitos aneh itu.
"Tidak harus menggigit pecahan genteng, kan, Mas?" aku sengaja menggoda suamiku. Ia tertegun sejenak. Lalu buru-buru berseru, "aduh, Ris! Kita tidak memiliki pecahan genteng. Tapi tunggu! Kita bisa menggantikannya dengan pecahan beling."