Episode  sebelumnya: Â
Ema  hidup  lagi  setelah  meminjam  ruh  Bryan  yang terperangkap  di  dunia  kegelapan  demi  membalas  dendamnya  kepada  Lady  Bathory.
Miss  Liz  dan  Renata  meski  khawatir,  sementara  waktu  tidak  bisa  berbuat apa-apa  kecuali  diam  menunggu.
Tak disangka-sangka  Ayah  Bryan  tiba-tiba  muncul  menemui  Miss. Liz.  Â
***
"Miss. Liz? Saya menyusul Bryan," laki-laki berkumis tebal itu berkata dengan suara tegas meski terdengar agak gugup. Aku tahu apa yang tengah dipikirkannya. Jelas sekali ia merasa sungkan karena bertamu malam-malam di kediaman seorang gadis. Meski gadis itu adalah guru anaknya sendiri.
"Maafkan saya, Miss. Liz. Saya terpaksa datang kemari karena tidak tega mendengar istri saya terus menerus mengkhawatirkan keselamatan Bryan."
"Oh, tidak apa-apa, Tuan Barry. Saya sangat memaklumi."
"Jadi---di mana sekarang anak bandel itu?"
Baru saja aku hendak mencari suatu alasan, tiba-tiba kudengar suara Renata berseru lantang dari dalam kamar.
"Bryan! Buruan! Pukul dua belas semua harus sudah rampung!"
Seruan itu membuat Tuan Barry melirik sekilas ke arah arlojinya.
"Oh, mereka masih mengerjakan tugas? Sekarang baru pukul sepuluh. Sebaiknya saya pamit pulang. Nanti saya akan kembali sekitar pukul dua belas," Tuan Barry mengangguk hormat ke arahku.
"Sebaiknya memang begitu, Tuan Barry. Anak Anda sangat rajin. Ia banyak membantu saya mempersiapkan kebutuhan lomba kelas. Saya berjanji akan menelpon Anda jika semua sudah selesai," aku membalas anggukan Ayah Bryan itu.
Tuan Barry pamit pergi. Dan kepergiannya tentu saja membuatku bernapas lega.
Aku menutup pintu ruang utama, kembali masuk ke dalam kamar untuk menemui Renata. Aku ingin mengucap terima kasih. Gadis pintar itu, ia telah berhasil mengalihkan perhatian Tuan Barry meski hanya untuk sementara waktu.
Tapi aku sangat terkejut.
Kamarku terlihat kosong.
Renata.
Ia sudah tidak terlihat lagi di sana.
***
Aku belum bergeming dari tempatku berdiri. Masih termangu menatap kursi yang beberapa waktu lalu sempat diduduki oleh murid kesayanganku itu.
Kemana perginya Renata?
Sesaat aku sempat merasa was-was. Jangan-jangan Renata ikut terperangkap di dunia kegelapan yang dikuasai oleh Lady Bathory. Atau...
Oh, tidak. Aku harus menepis segala pikiran buruk. Aku berharap tidak terjadi apa-apa pada kedua muridku itu.
Aku berjalan ke arah sudut kamar. Menyentuh lukisan Kakek yang terpampang pada dinding di dekat jendela.
"Kakek, pensil itu ternyata menimbulkan banyak kesulitan. Mengapa Kakek mewariskannya padaku?" setengah mengeluh aku menatap wajah tua berkaca mata dalam lukisan itu.
Entah hanya halusianasi atau apa, tiba-tiba saja wajah Kakek bergerak. Aku juga melihat tangan Kakek terulur lalu mengelus lembut pipiku yang dingin.
"Liz, jangan bersedih. Semua akan baik-baik saja," suara Kakek menenangkanku.
"Bagaimana aku bisa merasa baik-baik? Sementara dua muridku tidak kuketahui keberadaannya."
"Kau cobalah mengingat sesuatu, Liz," suara Kakek terdengar lagi.
"Mengingat apa, Kek?"
"Kidung yang sering kulantunkan ketika kamu masih kecil."
Seketika keningku berkerut.
"Kidung yang mana?" aku bertanya lirih.
"Durma, Liz. Â Lingsir Wengi...."
Bersambung....
***
Malang, 29 Januari 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Kisah sebelumnya di sini  https://www.kompasiana.com/elfat67/5a6d1c19caf7db29c70f0b82/serial-miss-liz-setetes-darah-bocah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H