Awal-awal saya memutuskan berpisah, banyak orang yang menyayangkan. Terutama dari pihak-pihak yang selama ini hanya melihat kami dari luarnya saja. Beberapa teman berusaha membujuk saya untuk kembali rujuk.Â
Demi anak-anak, begitu alasan mereka. Tapi saya bergeming. Saya lebih tahu apa yang saya alami dan rasakan. Justru berpisah merupakan jalan terbaik untuk menghindarkan anak-anak dari trauma berkepanjangan karena melihat konflik tiada berujung yang terjadi pada kedua orang tuanya.
Saya juga paham dan sangat mengerti. Anak-anak tentu amat sedih dan kecewa melihat kedua orang tuanya berpisah. Tapi keputusan yang saya ambil, sekali lagi untuk mencegah kondisi semakin memburuk dan berkelanjutan.
Maka hal-hal sebaik yang bisa saya lakukan adalah mengajukan permohonan hak asuh anak-anak agar jatuh kepada saya. Barangkali dengan cara itu saya bisa menebus kesalahan (jika bercerai dianggap sebuah kesalahan).Â
Saya ingin tetap bersama anak-anak. Membesarkan mereka dengan kedua tangan saya. Bermodal bismillah saya meyakini Allah senantiasa bersama saya. Saya tak henti berdoa, mohon petunjuk agar saya dan anak-anak bisa melewati semuanya dengan baik.
Alhamdulillah. Hikmah dari ujian berat bernama perceraian itu menjadikan kami, saya dan anak-anak menjalani hidup dengan mandiri dan saling menguatkan.
Hikmah lain yang bisa diambil ketika perceraian itu datang sesungguhnya Allah bukan membenci kita, melainkan tidak menyukai perbuatan kita. Dan senyampang ada niat untuk memperbaiki diri, insya Allah semua akan berjalan baik-baik saja.
***
Malang, 11 Januari 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H