Seorang istri pasti akan sangat sedih dan kecewa ketika menerima kabar talak dari suaminya. Demikian juga sebaliknya, seorang suami akan sangat berduka ketika harus mengatakan "aku menceraikanmu" terhadap istri yang dicintai---ibu dari anak-anaknya.
Sungguh, kata cerai adalah momok yang menakutkan. Sebisa mungkin dihindari oleh pasangan yang sudah membina rumah tangga. Kemelut apa pun yang terjadi dalam kehidupan bernama pernikahan, hendaklah menjauh dari kata yang satu ini. Cerai.
Namun bagaimana jika perceraian tidak bisa dihindari lagi dan merupakan solusi satu-satunya? Apakah perbuatan yang dibenci Allah tetapi dihalalkan ini akan selalu membawa dampak negatif (baca:trauma) bagi masing-masing pasangan, terutama bagi kehidupan anak-anak setelahnya?
Tentu saja jawaban setiap orang berbeda. Tidak akan sama. Ada sebagian orang anti pati mendengar kata cerai. Ada pula yang biasa-biasa saja saat menanggapinya.
Saya mungkin termasuk orang yang baper jika bicara masalah perceraian. Ada jejak sedih yang saya rasakan karena saya pernah mengalaminya sendiri. Ada rasa minder yang terus mengiringi sepanjang hidup pasca bercerai dari suami.Â
Saya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa bangkit dan berdiri tegak kembali. Karena bercerai ibarat mengamputasi satu kaki dari sepasang kaki yang selama ini kita miliki.
Cerai. Siapa sih yang ingin rumah tangganya gagal? Siapa pula yang mengerti bahwa perjalanan cinta yang dibina sekian tahun bakal putus di tengah jalan? Tidak seorang pun yang menginginkannya. Juga tidak seorang pun yang mengerti akan perjalanan takdir hidupnya.
Proses menuju perceraian itu sendiri sangatlah tidak mudah. Butuh kekuatan luar biasa untuk menghadapinya. Sama beratnya saat memutuskan untuk menikah. Ada tanggung jawab moral yang amat berat di dalamnya.
Lantas mengapa pasangan yang mengalami konflik rumah tangga tidak memilih mempertahankan dan berusaha membenahi kesalahan-kesalahan tanpa harus mengambil keputusan final bercerai?
Tentu iktikad baik itu ada.Â
Namun semua dikembalikan lagi kepada masing-masing pemilik pribadi. Kita tidak bisa memaksakan kehendak agar seseorang berpikiran sama seperti kita. Mengingat musabab yang mengakibatkan perceraian itu beragam. Â