Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Perceraian Itu Datang

11 Januari 2018   18:59 Diperbarui: 11 Januari 2018   19:05 2209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.islam21c.com

Seorang istri pasti akan sangat sedih dan kecewa ketika menerima kabar talak dari suaminya. Demikian juga sebaliknya, seorang suami akan sangat berduka ketika harus mengatakan "aku menceraikanmu" terhadap istri yang dicintai---ibu dari anak-anaknya.

Sungguh, kata cerai adalah momok yang menakutkan. Sebisa mungkin dihindari oleh pasangan yang sudah membina rumah tangga. Kemelut apa pun yang terjadi dalam kehidupan bernama pernikahan, hendaklah menjauh dari kata yang satu ini. Cerai.

Namun bagaimana jika perceraian tidak bisa dihindari lagi dan merupakan solusi satu-satunya? Apakah perbuatan yang dibenci Allah tetapi dihalalkan ini akan selalu membawa dampak negatif (baca:trauma) bagi masing-masing pasangan, terutama bagi kehidupan anak-anak setelahnya?

Tentu saja jawaban setiap orang berbeda. Tidak akan sama. Ada sebagian orang anti pati mendengar kata cerai. Ada pula yang biasa-biasa saja saat menanggapinya.

Saya mungkin termasuk orang yang baper jika bicara masalah perceraian. Ada jejak sedih yang saya rasakan karena saya pernah mengalaminya sendiri. Ada rasa minder yang terus mengiringi sepanjang hidup pasca bercerai dari suami. 

Saya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa bangkit dan berdiri tegak kembali. Karena bercerai ibarat mengamputasi satu kaki dari sepasang kaki yang selama ini kita miliki.

Cerai. Siapa sih yang ingin rumah tangganya gagal? Siapa pula yang mengerti bahwa perjalanan cinta yang dibina sekian tahun bakal putus di tengah jalan? Tidak seorang pun yang menginginkannya. Juga tidak seorang pun yang mengerti akan perjalanan takdir hidupnya.

Proses menuju perceraian itu sendiri sangatlah tidak mudah. Butuh kekuatan luar biasa untuk menghadapinya. Sama beratnya saat memutuskan untuk menikah. Ada tanggung jawab moral yang amat berat di dalamnya.

Lantas mengapa pasangan yang mengalami konflik rumah tangga tidak memilih mempertahankan dan berusaha membenahi kesalahan-kesalahan tanpa harus mengambil keputusan final bercerai?

Tentu iktikad baik itu ada. 

Namun semua dikembalikan lagi kepada masing-masing pemilik pribadi. Kita tidak bisa memaksakan kehendak agar seseorang berpikiran sama seperti kita. Mengingat musabab yang mengakibatkan perceraian itu beragam.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun